Mubadalah.id – Hari Pendidikan Nasional, yang kita peringati setiap 2 Mei, adalah momen penting untuk merenungkan peran dan nilai penting pendidikan dalam masyarakat. Penetapan hari spesial ini tentunya sebagai alarm pengingat dan penyadaran bahwa pendidikan adalah entitas penting dalam peningkatan kualitas pemikiran, perilaku maupun sikap individu, sehingga amat sangat layak untuk dirayakan dan direnungkan.
Namun, tindak ketidakadilan terhadap hak pendidikan yang seharusnya terasa oleh seluruh lapisan masyarakat masih sering terjadi. Kita lihat saja, sampai detik ini masih banyak bergelimang adanya diskriminasi terhadap hak-hak perempuan dalam pendidikan. Misalnya dan utamanya.
UNESCO menyebutkan bahwa masih banyak kita temukan perempuan tidak dapat menggunakan hak mereka atas pendidikan. Hal itu karena ketidaksetaraan gender dan praktik diskriminatif. Kemiskinan, perkawinan anak, dan kekerasan berbasis gender hanyalah segelintir alasan di balik tingginya persentase perempuan putus sekolah dan buta huruf di seluruh dunia.
Kita ambil sampel yang dekat-dekat saja. Dalam masyarakat Jawa, terdapat stereotip yang mengarahkan peran perempuan hanya pada tiga hal: manak (memproduksi anak), masak (memasak), dan macak (make up). Stereotip ini, bersama dengan sematan “konco wingking”. Yaitu mengaitkan perempuan dengan dapur, kasur, dan sumur, menciptakan persepsi bahwa perempuan hanya cocok untuk urusan domestik.
Dampak negatif dari stereotip ini terlihat dalam penolakan beberapa orang tua terhadap pendidikan tinggi bagi anak perempuan mereka. Pandangan tradisional yang melekat di masyarakat Jawa menganggap bahwa perempuan seharusnya berada di rumah, sehingga mempersempit pandangan tentang peran gender dalam masyarakat dan mengurangi peluang pendidikan perempuan.
Konstruksi Budaya Patriarki
Paradigma bahwa domain domestik hanya cocok untuk perempuan merupakan konstruksi budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat kita. Ini adalah upaya kelompok patriarki untuk mempertahankan superioritas mereka. Yakni dengan mencegah perempuan mengambil peran di luar rumah.
Ada juga ketakutan dan kekhawatiran yang menyelimuti laki-laki patriarki. Di mana mereka memandang perempuan yang jenjang pendidikannya lebih tinggi dari mereka merupakan momok menakutkan yang seharusnya mereka cegah.
Hal ini menciptakan ketakutan dan kekhawatiran pada laki-laki patriarki yang merasa insecure jika perempuan memiliki pendidikan lebih tinggi dari mereka. Mereka cenderung menghalangi perempuan untuk mencapai pendidikan tinggi, karena merasa sulit untuk “mengendalikan” perempuan yang lebih superior secara pendidikan.
Selain ketidakadilan gender, diskriminasi terhadap hak-hak perempuan dalam pendidikan juga masih banyak terjadi dalam bentuk ketidaknyamanan di lingkungan sekolah, yaitu berupa kekerasan seksual. Hal itu terbukti dalam laporan Komnas Perempuan, bahwa mereka menerima laporan dalam periode 2015-2020, terdapat 51 kasus. Di mana lingkungan kampus masih menduduki posisi teratas yang kemudian dilanjut kekerasan seksual di lingkungan pesantren.
Itupun yang Komnas Perempuan terima atas adanya laporan dari pihak korban, belum lagi kekerasan seksual yang terjadi di luar sana yang belum terdeteksi atau tidak terlaporkan karena tidak berdayanya korban. Sungguh mencengangkan!
Relasi Kuasa
Tak jarang kuasa guru atau dosen sebagai pemilik otoritas dalam ruang kelas. Yakni dengan modus mengajak korban untuk melakukan pelecehan fisik dan non-fisik atas dalih perbaikan nilai atau alasan lainnya.
Bahkan dalam dunia pesantren kita kenal akan melekatnya dengan pembelajaran moral, sering terjadi kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Misalnya terjadi pemaksaan perkawinan, pemindahan ilmu, tidak mendapatkan keberkahan guru dan akan terkena azab.
Alih-alih mendapatkan ketenangan dan kebebasan perempuan dalam mengenyam hak pendidikan mereka. Hal ini juga menciptakan hambatan bagi perempuan untuk belajar dengan optimal dan berkembang secara penuh.
Melihat masih banyaknya tindak diskriminatif yang terjadi terhadap hak perempuan dalam dunia pendidikan kita, pada hari ini kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Mari bersama-sama merefleksikan dengan membuka pikiran kita selebar-lebarnya bahwa penting untuk menyadari bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang harus dinikmati oleh semua individu tanpa memandang gender.
Masyarakat harus bersatu untuk mengubah pandangan yang merugikan ini dan memberikan kesempatan dan kenyamanan yang sama bagi semua anak, tanpa memandang jenis kelamin mereka.
Pendidikan Inklusif
Selain itu, menghilangkan stereotip dan persepsi yang menghambat perempuan dalam mendapatkan pendidikan tinggi juga penting. Hal ini dapat kita lakukan melalui pendidikan seksualitas yang inklusif dan menyeluruh, serta melibatkan orang tua dalam pendidikan untuk mengubah pandangan mereka tentang peran gender dan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan mereka
Sebagai bangsa yang berkomitmen untuk memajukan pendidikan, kita harus berupaya untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi dan memberikan akses yang setara bagi semua individu. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka sepenuhnya. Yaitu demi menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berbudaya.
Tahun sudah menunjukkan angka 2024, masa sih, masih rela, melihat status pendidikan kita masih bersifat bias gender dan diskriminatif terhadap hak-hak perempuan? Yang bener, aja, rugi dong! []