Mubadalah.id – Tidak seorangpun yang dapat menyangkal bahwa kekerasan dan perkosaan terhadap perempuan, juga terhadap makhluk Tuhan yang lain, merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan terhadap pelakunya harus dihukum secara adil.
Pertanyaannya adalah termasuk jenis kejahatan apakah perkosaan terhadap perempuan tersebut baik yang ia lakukan secara individual maupun kolektif, teristimewa menyangkut kasus 13-15 Mei 1998 yang lalu. Indentifikasi ini menjadi perlu untuk menentukan hukuman apa yang pantas jatuh terhadap pelakunya, dari prespektif fiqh.
Seperti kita ketahui bahwa syari’ah Islam mengenal tiga jenis kejahatan, qisas, hudud dan ta’zir. Qisas merupakan pembalasan setimpal terhadap kejaharan pembunuhan atau pelukaan atau penganiayaan dengan sengaja.
Hudud adalah kejahatan-kejahatan yang jenis pelanggaran dan hukumannya langsung oleh wahyu Tuhan. Beberapa kejahatan yang masuk dalam katagori ini antara lain: perzinahan, menuduh zina, mencuri, hirabah dan pemberontakan.
Sementara ta’zir merupakan hukuman terhadap suatu kejahatan tertentu yang bentuk dan jenisnya kepada pertimbangan hakim.
2 Jenis Kejahatan
Berdasarkan katagori tersebut di atas, maka kasus perkosaan terhadap perempuan dalam peristiwa sebagaimana di atas barangkali dapat mengambil dua bentuk atau jenis kejahatan. Pertama, perzinahan dengan pemaksaan penganiayaan dan penjarahan.
Kedua, hirabah, dalam fiqh, pemaksaan mendapat rumuskan sebagai ajakan untuk melakukan suatu perbuatan penuh ancaman. Beberapa syarat pemaksaan (ikrah) antara lain, pelaku pemaksaan memiliki kekuasaan untuk merealisasikan ancamannya.
Sebaliknya, obyek pemaksaan (korban) tidak memiliki kemampuan untuk menolaknya disertai dugaan kuat bahwa penolakan atasnya akan mengakibatkan bahwa ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan.
Bahkan ancaman itu bisa berupa hal-hal yang membahayakannya seperti membunuh, menghajar (memukul), mengikat dan memenjarakannya dalam tempo cukup lama atau menghancurkan harta bendanya.
Sementara untuk laki-laki yang dipaksa berbuat zina, maka kontroversi muncul di kalangan ahli fiqh. Madzhab Hanafi memandang bahwa jika pemaksaan itu bersifat penuh, ia tidak dikenakan hukuman hudud. Sebaliknya jika tidak penuh dikenakan hukuman hudud.
Paksaan tidak penuh kita artikan sebagai paksaan yang ancamannya di bawah ancaman penuh. Pendapat terkuat dari Syafi’iyah membebaskan hukuman hudud terhadap laki-laki yang mendapat paksaan berzina, paksaan penuh atau tidak.
Sebagian Malikiyah memberikan bentuk syarat ancaman, jika ancamannya terjadi pembunuhan, maka ia terbebas dari hukuman hudud. Untuk ancaman selainnya, tetap dikenakan hukuman had. []