Mubadalah.id – Tepat pada 17 Ramadan tahun 560 Hijriyah, di Murcia daerah bagian utara Spanyol. Lahir seorang Ibnu ‘Arabi. Dia menjadi putra dari keluarga yang terkenal religius yang kelak ia masyhur dengan prestasinya di bidang filsafat, tasawwuf dan sederet bidang keagamaan lainnya.
Perjalanan intelektual dan spiritual Ibnu ‘Arabi berlangsung lama. Bukan hanya melalui sosok laki-laki saja yang menjadi gurunya, tetapi ada peran perempuan dalam proses transformasi intelektual dan spiritual Ibnu ‘Arabi. Dengan pengaruh tersebut sehingga membentuk cara pandangnya terhadap perempuan yang relatif beragam.
Sebagai contoh, karya puitis-nya Tarjuman al-Asywaq yang menggambarkan perempuan sebagai manifestasi cinta Ibnu ‘Arabi terhadap Tuhannya. Karya ini merupakan bukti konkrit apresiasi Ibnu ‘Arabi terhadap sosok perempuan.
Di sisi lain lahirnya karya tersebut terinspirasi dari perempuan yang Ibnu ‘Arabi gambarkan layaknya gadis yang memesona, intelektualitas yang tinggi serta spiritual yang mendalam. Tiada lain perempuan tersebut bernama Nizam yang sekaligus sebagai putri dari gurunya, Zahir bin Rustam.
Dalam perjalanan spiritual Ibnu ‘Arabi, tidak terlepas dari beberapa sosok perempuan sufi yang membimbingnya, yaitu Yasimin dan Fatimah dari Kordova.
Sufi Perempuan
Yasmin seorang sufi perempuan yang berasal dari Marchena. Dia lebih terkenal dengan sebutan Ummu Syams al-Fuqara yang memiliki pengetahuan spiritual yang tinggi sehingga mendapat gelar kasyaf (tidak ada penghalang antara diri dia dengan Tuhan).
Dari Yasmin, Ibnu ‘Arabi banyak mengambil tausyiah-tausyiah spiritual. Sementara Fatimah adalah sosok sufi perempuan yang berusia 90 tahunan yang tergambarkan oleh Ibnu ‘Arabi layaknya gadis yang berumur belasan tahun. Dia memiliki banyak murid yang di antaranya adalah Ibnu ‘Arabi.
Selain melahirkan teori Wahdatul wujud yang memunculkan polemik di antara kalangan ulama teologi, Ibnu ‘Arabi juga mendapat kritik sinis dari beberapa tokoh feminisme atas pandangannya yang dinilai mencederai kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Hadirnya kritik atas pandangan Ibnu ‘Arabi terhadap perempuan, karena memang beragam sekaligus kontradiktif pandangan Ibnu ‘Arabi terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Di satu sisi ia menganggap laki-laki lebih unggul dan begitu juga sebaliknya (perempuan lebih unggul daripada laki-laki). Sementara di sisi lain ia juga mengemukakan antara laki-laki dan perempuan adalah entitas yang setara (Ali, 2023).
Kesetaraan Perempuan Menurut Ibnu ‘Arabi
Setidaknya ada tiga pandangan Ibnu ‘Arabi terhadap perempuan yang memang pandangan tersebut agak terlihat kontradiktif. Namun dapat kita pahami secara jelas maksud dan tujuannya ketika kita membaca lebih dalam lagi secara teliti satu persatu atas beberapa pandangannya terhadap perempuan.
Dalam buku Studi Tasawwuf Mengantar Menyelami Kedalaman Spiritualitas Islam (2023) gubahan Prof. Dr. Yunasril Ali, MA. Menyampaikan beberapa pandangan Ibnu ‘Arabi terhadap perempuan.
Pertama, Ibnu ‘Arabi memandang keunggulan laki-laki dan perempuan terlahir dari akar metafisis kosmologis dalam hubungan antara Tuhan dan kosmos (makhluk). Menurutnya antara laki-laki dan perempuan juga termasuk di dalam hubungan suami istri tidak lepas secara hakikat dalam hubungan Tuhan dan kosmos.
Untuk menguatkan argumentasinya, Ibnu ‘Arabi memparalelkan Tuhan dengan laki-laki dan makhluk sebagai perempuan yang mengacu sabda Nabi; “seluruh makhluk adalah anggota keluarga Tuhan”, karena perempuan adalah keluarga laki-laki sebagaimana makhluk adalah keluarga Tuhan.
Di mana seluruh makhluk tunduk kepadanya begitu juga perempuan yang menjadi keluarga laki-laki. Sehingga lahir pandangan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi setingkat daripada perempuan karena sesungguhnya bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan berakar dari hubungan Tuhan dan makhluknya (hlm, 255-257).
Penciptaan Manusia
Kedua, menurut Ibnu ‘Arabi kesetaraan laki-laki dan perempuan terletak pada tiga sisi. Yaitu segi penciptaan, taklif (pembebanan hukum syari’at), dan kemanusiaan. Jika laki-laki kita anggap unggul karena mengukur dari asal mula penciptaanya yang mana Nabi Adam sebagai asal dari penciptaan Hawa.
Namun hal demikian dapat kita patahkan dengan asal mula Nabi Isa yang terlahir dari siti Maryam, maka kedudukan Adam setara dengan kedudukan Maryam. Lalu Hawa setara dengan kedudukan Nabi Isa, artinya dari sisi ini kedudukan kaum laki-laki sama dengan kedudukan perempuan.
Begitu juga dalam pelaksanaan hukum syariat antara keduanya baik dalam pelaksanaan ataupun pencapaiannya. Hanya saja perbedaan dalam konteks ini adalah terdapat sesuatu hal yang lebih spesifik di antara keduanya. Contoh: dalam pelaksanaan salat keduanya wajib. Akan tetapi dalam kondisi haid perempuan tidaklah diwajibkan untuk salat, hal ini karena terdapat perbedaan tabiat secara spesifik di antara keduanya.
Di sisi lain kesetaraan antara laki-laki dan perempuan menurut Ibnu ‘Arabi yaitu dalam kualitas kemanusiaan. Karena aspek ini sudah menjadi tabiat alami di antara keduanya. Hanya saja dari sebagian keduanya ada yang mengoptimalkan potensi dasar tersebut secara baik dan sempurna, ada juga yang tidak. Bahkan tidak peduli baik itu laki-laki atau perempuan (hlm, 262-265).
Jika menilik kedua pandangan di atas menempatkan kedudukan perempuan di bawah atau setidaknya setara dengan laki-laki. Hal berbeda kita temukan pada pandangan terakhir Ibnu ‘Arabi tentang perempuan, di mana dia lebih mengunggulkan perempuan daripada laki-laki. Singkatnya terdapat beberapa kelebihan dalam diri perempuan sekaligus kelemahan dalam diri laki-laki yang tidak perempuan miliki.
Perempuan, Manifestasi Cinta pada Tuhan
Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi laki-laki adalah seorang yang miskin, karena ia sebagai pencari dalam konteks pernikahan. Sementara perempuan adalah sosok yang dicari oleh laki-laki. Ini adalah gambaran kemiskinan seorang lelaki yang sangat membutuhkan seorang perempuan. Sebaliknya perempuan adalah pihak yang dibutuhkan oleh laki-laki dan tidak lebih butuh atas kehadiran laki-laki.
Di sisi lain, tanpa adanya sosok perempuan seorang lelaki tak berdaya untuk melahirkan keturunan, karena pada diri perempuan terdapat kekuatan reseptif untuk menerima aktivitas laki-laki sehingga dapat melahirkan anak dan keturunannya. Kekuatan reseptif inilah yang hanya dimiliki perempuan, sehingga dalam konteks ini laki-laki berkedudukan setingkat lebih bawah daripada perempuan (hlm, 266-268).
Dan atas pluralitas pandangan inilah yang menurut hemat penulis sikap teliti dan bijaknya Ibnu ‘Arabi dalam memandang perempuan, di mana ia memandang dari beragam sudut pandang ilmu dan pengalaman untuk satu objek, yakni perempuan. Di samping itu Ibnu ‘Arabi adalah sosok yang sangat mengapresiasi perempuan sekaligus menjadikan perempuan sebagai inspirasi atas manifestasi cintanya terhadap sang Tuhan.
Pada akhirnya, terlepas dari keunggulan atau kekurangan dari keduanya, prinsip kesalingan di antara keduanya adalah suatu hal yang mau tidak mau harus hadir untuk menciptakan harmoni dan kasih sayang. Sehingga tidak ada lagi dikotomi di antara keduanya baik dalam kedudukan ataupun yang lainnya. Sekian. []