Mubadalah.id – Di Indonesia, jutaan ibu setiap hari menjalani hidup dengan wajah seolah normal. Senormal tersenyum, menyiapkan sarapan, mengantar anak ke sekolah. Padahal di balik itu, untuk sekadar menyiapkan sarapan yang ia pikirkan bukan sekadar nasi di atas piring. Ia harus memikirkan persediaan bahan makanan tetap terjaga hingga beberapa hari ke depan.
Ketika seorang ibu di Indonesia mengantar anak ke sekolah, pikirannya tidak berhenti di gerbang sekolah. Ada uang saku yang harus ia siapkan, ada iuran sekolah yang menunggu, ada biaya buku, seragam hingga kegiatan lain yang sewaktu-waktu bisa ada permintaan dari pihak sekolah.
Tidak hanya itu, seorang ibu di Indonesia juga setiap hari berjibaku dengan urusan yang paling berat. Yaitu, mengelola uang. Itu bukan sekadar mencatat pengeluaran dan pemasukan. Tapi soal menentukan prioritas hidup. Dengan kata lain, mereka memastikan roda rumah tangga berputar, walau bahan bakar sering kali nyaris habis.
Dan di sinilah ironi itu terasa. Sementara ibu di Indonesia berhitung ketat agar uang tidak salah alokasi, negara justru makin mengeluarkan anggaran untuk proyek-proyek yang kita pertanyakan urgensinya. Tahun 2024, APBN Indonesia sebesar Rp 3.326 triliun, tetapi rakyat masih mendengar kabar tentang korupsi 42 triliun (ICW, 2023), atau pemborosan anggaran untuk fasilitas pejabat.
Ibu-ibu di rumah bisa membedakan mana butuh dan mana ingin. Beras selalu lebih penting dari perhiasan. Namun mengapa negara sering gagal menempatkan kebutuhan dasar rakyat di atas proyek prestise?
Ibu di Indonesia Hidup dalam Ilusi “Cukup”
Menurut BPS (2023), rata-rata pengeluaran per kapita rumah tangga di Indonesia mencapai sekitar Rp 1,3 juta perbulan. Namun, bagi keluarga kelas menengah ke bawah, angka ini terasa jauh dari cukup.
Harga beras yang pada 2023 masih kisaran 11.000/kg kini melonjak hingga 15.000-16.000/kg. Biaya sekolah dasar negeri yang katanya “gratis” pun tetap menuntut biaya buku, seragam, dan kegiatan-kegiatan.
Di tengah tekanan itu, hari-hari tetap berjalan normal. Beras tetap terbeli, berapapun harga cabai melonjak, tetap membuat sambal. Minyak goreng yang terkadang langka, telur yang harganya sering berubah, gula yang semakin mahal. Semuanya tetap diusahakan sedia, karena katanya, dapur yang hidup adalah tanda rumah yang hangat.
Manajer Rumah Tangga Paling Telaten
Ibu-ibu adalah Menteri keuangan yang ulung. Mereka tahu betul bagaimana setiap rupiah harus terkelola dengan baik. Tidak tertulis di kertas, namun terhitung matang di kepala ibu. Sedangkan yang terdengar di luar sana adalah anggaran fantastis namun proyeknya tidak tepat sasaran.
Berpura-Pura Bahagia, Padahal Tertekan
Dalam survei SMERU Research Institute (2022), ditemukan bahwa lebih dari 50% rumah tangga miskin hidup di Indonesia hidup dalam tekanan psikologis karena masalah ekonomi.
Namun, tekanan itu sering disembunyikan. Ibu-Ibu tetap hadir di pengajian dengan wajah ceria. Ibu-ibu menunjukkan satu Pelajaran yang berarti bahwa tekanan memang harus dihadapi dengan bijak, penuh perhitungan, dan menempatkan prioritas dengan tepat.
Seandainya DPR Berlaku seperti Ibu Saat Mengelola Rumah Tangga
Mari bayangkan, jika DPR meniru cara ibu rumah tangga, maka yang kita rasakan semestinya adalah:
Pertama, tidak ada proyek yang mubadzir
Tidak ada alasan bagi DPR untuk mendorong proyek non-esensial semacam mobil dinas baru atau proyek mercusuar IKN dan MBG.
Kedua, benchmarking yang terukur
Setperti ibu yang membandingkan harga bahan pokok sebelum belanja, DPR juga semestinya menjalankan fungsi budgeting. Setiap pengadaan atau program harus melalui survei pasar, HPS, dan audit berkala agar benar benar tepat sasaran.
Ketiga, publik bisa melihat secara transparan
Sama seperti catatan belanja keluarga yang dapat kita tinjau bersama, rakyat juga berhak melihat hasil kerja DPR secara terbuka. Mekanisme fungsi pengawasan harus diperkuat dengan transparansi anggaran realtime, rapat terbuka yang benar-benar bisa diakses publik serta pertanggungjawaban yang jelas. Dengan begitu tidak ada lagi ruang pemborosan yang maupun proyek yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Jika kita cermati, sebenarnya tidak ada yang salah dengan membuat analogi antara ibu-ibu dengan DPR. Mungkin dapat terlihat dari perbedaan skala. Namun prinsipnya sama, yaitu ada penerimaan, pengeluaran dan prioritas.
Dan untuk mengatakan bahwa membandingkan DPR dengan ibu rumah tangga itu tidak apple to apple, justru di sinilah letak logikanya: kalau di lingkup kecil saja ibu bisa dituntut untuk cermat, hemat dan tepat sasaran, apalagi di lingkup negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika kita hanya terfokus pada makan gratis, jangan sampai memastikan bahwa rakyat juga punya dapur keluarga yang harus berasap setiap hari. []