• Login
  • Register
Sabtu, 10 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Ibu Hamil dan Menyusui Tidak Berpuasa di Bulan Ramadhan, Qadha atau Fidyah? Ini Jawabannya

Vevi Alfi Maghfiroh Vevi Alfi Maghfiroh
04/06/2020
in Hukum Syariat
0
66
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Islam sebagai ajaran yang secara universal memperhatikan kondisi umatnya, memberikan rukhsoh dan keringanan dalam hal pelaksanaan ibadah jika terdapat kesulitan, salah satunya adalah dalam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Berpuasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib bagi semua orang Islam yang telah baligh, berakal, dan sehat. Para ulama bersepakat membolehkan orang sakit untuk tidak menjalankannya, namun berbeda pendapat tentang kebolehan musafir, orang hamil, menyusui, dan lansia untuk berbuka.

Perempuan memiliki pengalaman biologis hamil dan menyusui yang tidak dirasakan oleh laki-laki. Saat dalam kondisi ini, ia tidak hanya harus memperhatikan kesehatan dan nutrisi untuk dirinya sendiri, ia juga harus memperhatikan kondisi buah hatinya baik saat masih dalam kandungan maupun saat menyusui.

Illat kebolehan perempuan menyusui (murdhi’) dan hamil disamakan dengan orang sakit, yakni kekhawatiran akan bahaya bagi diri sendiri maupun anaknya. Perempuan yang sedang mengandung dan menyusui membutuhkan gizi yang cukup. Kekurangan makanan dan minuman selama bulan puasa dapat mengurangi kadar gizi atau air susu ibu (ASI) yang dibutuhkan, hal ini dapat berakibat kurang baik pada janin dan anaknya.

Hakikat puasa itu baik, akan tetapi jika berakibat negatif bagi para perempuan hamil dan menyusui, maka boleh ditinggalkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih daf’u al mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih. Namun kebolehannya tersebut tidak berarti ia terbebas selamanya, ia harus mengganti apa yang telah ditinggalkannya.

Baca Juga:

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Bekerja adalah Ibadah

Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd dijelaskan, ada empat pendapat mengenai cara qadha puasa bagi perempuan hamil dan menyusui. Pertama, wajib membayar kafarat atau fidyah tanpa mengqadha puasa. Ini diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Kedua, Wajib mengqadha puasa tanpa membayar fidyah/kafarat. Ini pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya, Abu Ubaid, serta Abu Tsur.

Ketiga, wajib mengqadha puasa dan membayar fidyah/kafarat. Ini pendapat Syafi’i. dan Keempat, orang hamil wajib mengqadha puasa, sedangkan orang menyusui wajib mengqadha puasa dan membayar fidyah atau kafarat. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh perbedaan penyamaan antara orang yang berat untuk melakukan puasa dengan orang sakit.

Ulama yang menyamakan orang hamil dan orang menyusui dengan orang sakit berpendapat bahwa orang hamil dan orang menyusui hanya wajib mengqadha. Sedangkan ulama yang menyamakan mereka dengan orang yang tak mampu berpuasa berpendapat bahwa orang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah saja, tanpa qadha.

Pendapat ini mengambil ketentuan surat al-Baqarah ayat 184, Dan orang-orang yamg tidak mampu berpuasa wajib membayar fidyah berupa pemberian makanan kepada orang-orang miskin.

Ulama yang menyamakan orang hamil dan orang menyusui dengan orang sakit dan orang yang tidak kuat puasa, berpendapat bahwa orang hamil dan menyusui wajib mengqadha, karena identik dengan orang sakit, juga wajib membayar fidyah, karena identik dengan orang yang tak kuat puasa.

Ada juga ulama yang membedakan orang hamil dengan orang menyusui. Dan ada yang menyamakan orang hamil dengan orang sakit. Orang yang menyusui disamakan dengan orang sakit. Orang yang tidak kuat puasa disamakan dengan orang yang sehat.

Menurut Ibnu Rusyd, ulama yang menentukan wajib qadha saja atau wajib fidyah saja lebih utama daripada mewajibkan qadha dan fidyah kedua-duanya. Sedangkan qadha lebih utama daripada fidyah, sebab pemahaman terhadap qiraat tersebut tidak mutawatir.

Dari perbedaan pendapat tersebut, sebenarnya bisa menjawab polemik yang berkembang di kalangan ibu hamil dan menyusui terkait manakah yang harus dilakukan. Namun alangkah baiknya mengambil solusi paling bijak yang diyakini masing-masing.

Jika melihat keterangan dari kitab Minhaj Ath-Thalibin dan beberapa kitab fiqih lainnya, mayoritas menjelaskan bahwa jika berbukanya karena mengkhawatirkan janin dan anaknya saja, selain mengqadha, dia juga harus membayar fidyah.

Qadha puasa dapat dilakukan kapan saja sebelum datangnya bulan Ramadhan tahun berikutnya. Jika sampai Ramdhan berikutnya belum mengqadha, selain masih mengqadha, harus juga membayar kafarat berupa makanan pokok (beras) satu mud (sekitar 6 ons) per harinya. Wallau A’lam Bishawab. []

Vevi Alfi Maghfiroh

Vevi Alfi Maghfiroh

Admin Media Sosial Mubadalah.id

Terkait Posts

Perempuan sosial

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

10 Mei 2025
Sunat Perempuan

Sunat Perempuan dalam Perspektif Moral Islam

2 Mei 2025
Metode Mubadalah

Beda Qiyas dari Metode Mubadalah: Menjembatani Nalar Hukum dan Kesalingan Kemanusiaan

25 April 2025
Kontroversi Nikah Batin

Kontroversi Nikah Batin Ala Film Bidaah dalam Kitab-kitab Turats

22 April 2025
Anak yang Lahir di Luar Nikah

Laki-laki Harus Bertanggung Jawab terhadap Anak Biologis yang Lahir di Luar Nikah: Perspektif Maqasid Syari’ah

25 Maret 2025
Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

18 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • PRT

    Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak
  • Bekerja adalah Ibadah
  • Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis
  • Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?
  • Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version