Mubadalah.id – Bagi sebagian orang, Hari Raya Iduladha dikenal sebagai hari penyembelihan hewan kurban seperti sapi, kambing, dan unta, yang kemudian dagingnya dibagikan kepada mereka yang membutuhkan.
Namun, di balik praktik tersebut, Iduladha sebenarnya menyimpan makna yang jauh lebih dalam. Yaitu tentang keikhlasan, ketaatan, dan perjuangan melawan keegoisan diri.
Keikhlasan dan perjuangan melawan keogoisan ini dapat kita lihat dari kisah Nabi Ibrahim dan Siti Hajar yang diperintahkan untuk menyembelih putranya, Ismail. Keduanya harus rela melepaskan hal yang paling mereka cintai demi ketaatan kepada Tuhan.
Apalagi, kehadiran Ismail yang sangat dinanti-nantikan oleh keduanya. Setelah Ismail lahir, justru mereka diminta untuk mengorbankannya. Tentu itu sangat berat, tetapi keduanya tetap taat.
Di sinilah kita belajar bahwa ketaatan kepada Allah harus lebih besar daripada rasa memiliki kita terhadap sesuatu, baik itu harta, jabatan, bahkan keluarga. Karena hakikatnya, semua itu adalah milik Tuhan yang dititipkan kepada kita.
Bukan Dagingnya, Tapi Niatnya
Sementara itu, sering kali, kita memaknai Iduladha hanya sebagai ritual penyembelihan dan pembagian daging kurban. Bahkan kita mungkin berpikir bahwa semakin besar hewan yang kita kurbankan, maka semakin besar pula pahala yang akan kita dapatkan di mata Allah.
Namun, pemahaman ini perlu kita luruskan, karena esensi dari ibadah kurban jauh melampaui sekadar daging atau darah hewan yang disembelih. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman:
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu.” (QS. Al-Hajj: 37)
Dari ayat tersebut, jelaslah bahwa yang Allah lihat bukanlah seberapa besar hewan yang kamu sembelih. Melainkan seberapa ikhlas dan taat hati kita dalam menjalankan perintah-Nya. Jadi, kurban itu sebenarnya adalah simbol dari pengorbanan diri dan keikhlasan hati.
Kurban: Ibadah Sosial
Di masa Nabi, daging adalah makanan mewah yang jarang bisa dinikmati orang miskin. Maka, ketika datang waktu kurban, masyarakat miskin bisa ikut merasakan makanan yang biasanya hanya dinikmati orang kaya.
Hal inilah yang mengajarkan kepada kita bahwa Hari Raya Kurban menanamkan juga tentang kepedulian sosial. Yaitu menyamakan rasa, agar semua orang bisa merasakan kebahagiaan yang sama.
Terlebih di zaman sekarang, makna ini bisa kita perluas menjadi aksi nyata untuk mengurangi kesenjangan dan saling tolong-menolong.
Ragam Tradisi di Berbagai Daerah
Di berbagai daerah, Iduladha kami rayakan dengan cara yang beragam. Di Jawa Barat misalnya, masyarakat Sunda memiliki kebiasaan “nyate bareng” membakar sate bersama sanak keluarga. Begitupun di pesantren saya, Pondok Pesantren Manhajy Luhur Fahmina Cirebon, kegiatan ini kami lakukan bersama para santri.
Kami semua para santri, baik laki-laki dan perempuan diajak oleh pengasuh Abi Marzuki dan Bunda Nurul untuk saling bekerja sama dan berbagi tugas, seperti ada yang belanja, menyiapkan bumbu, memotong daging, menusuk daging, membakar, dan lain-lain.
Bagi saya, hal ini bukan sekadar makan-makan, tetapi wujud dari gotong royong, kebersamaan, dan kesalingan.
Selain itu, di beberapa kampung juga menggelar pengajian atau doa bersama sebelum dan sesudah hari raya. Ada pula tradisi saling membantu dalam proses penyembelihan dan pembagian daging, yang kemudian lanjut dengan memasak dan makan bersama. Semua ini menunjukkan bahwa Iduladha bukan hanya ibadah personal, tetapi juga momen mempererat hubungan sosial dan komunitas.
Dari semua ini, kita diajarkan bahwa Iduladha bukan hanya soal menyembelih hewan, tetapi juga tentang menyembelih sifat buruk dalam diri kita, seperti kesombongan, dan keegoisan. []