Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA mejelaskan bahwa pembahasan harta gono gini atau harta bersama dalam perkawinan adalah wilayah ijtihadi.
Keberadaannya sebagai sebuah hukum adat yang hidup dalam kesadaran masyarakat Indonesia dan terbukti membawa kemaslahatan.
Pasalnya, dengan melalui pembahasan ijtihadi, pembagian harta gono gini mampu menegakkan asas keadilan, keseimbangan, persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban suami-istri dalam kehidupan rumah tangga.
Fakta ini, kata Nyai Badriyah, jika dicampakkan begitu begitu saja dengan alasan tidak ada nash-nya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka diperkirakan dapat merusak tatanan kesimbangan persamaan hak dan derajat suami-istri.
Bahkan mendatangkan mudaharat dalam bentuk diskriminasi, ketidakadilan, dan tidak harmoni dalam berkeluarga.
Kenyataan inilah, kata dia, yang menyebabkan masalah harta gono gini ini masuk dalam wilayah pemasukan hukum Islam.
Cara atau metodologi perumusan hukum seperti ini dalam ushul fiqh mengenalnya dengan istilah istishlah dan ‘urf.
Dalam kaedah fiqhiyah, lanjutnya, pengadaptasian hukum adat dan Islam sebagaimana yang terjadi dalam soal harta gono gini ini sesuai dengan kaidah al-‘adah muhakkamah (adat yang tidak bertentangan dengan syariat bisa menjadi hukum).
Nyai Badriyah menyampaikan, penting untuk diperhatikan dalam kompromi antara hukum adat dan hukum Islam adalah hukum yang lahir dari kompromi tersebut harus berada dalam kerangka kemaslahatan atau mashlahah mursalah.
Atas dasar metodologi istishlah, mashlahah mursalah dan ‘urf serta kaidah al-‘adah muhakkmah inilah KHI melakukan pendekatan kompromistis dengan hukum adat.
Tujuannya agar ketentuan hukum Islam lebih dekat dengan kesadaran hidup masyarakat. (Rul)