Mubadalah.id – Ketika Nabi Ibrahim as ditanya kaum yang mengingkari kerasulannya, apa bukti bahwa Tuhanmu ada, Nabi Ibrahim menjawab, ‘Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan, ialah yang menjalankan matahari dari timur ke barat. Jawaban ini, didasarkan pada “keimanan” Nabi Ibrahim as. (Al Baqarah 258)
Suatu saat Nabi Ibrahim meragukan keimanannya. Kemudian ia memohon kepada Allah, agar ia diperlihatkan bagaimana cara Allah menghidupkan orang-orang yang telah mati. Allah menjawab “Apakah engkau tidak yakin dengan imanmu?” Nabi Ibrahim menjawab, saya sangat beriman, akan tetapi aku bertanya agar hatiku menjadi tentram. Ahirnya Allah pun mengajarkan kepada Nabi Ibrahim bagaimana cara Allah menghidupkan kematian. (Al Baqarah 260)
Kisah yang diabadikan di dalam Al-Qur’an ini menyatakan bahwa iman saja belum lah cukup, iman masih menggelisahkan hati. Dengan pengetahuan dan ilmu, iman menjadi kokoh yang akan melahirkan ketentraman jiwa.
Sebagaimana Nabi Ibrahim, Nabi Musa as juga meminta pembuktian nyata atas keimanannya kepada Allah. “Ya Allah Perlihatkan dirimu kepadaku agar aku bisa mengindramu”, mohon Nabi Musa. Dan Allah pun mengajarkan bagaimana caranya ia melihat-Nya. Setelah Nabi Musa melihatnya (bila kammin wa laa kaifin), ia menyatakan “Maha suci engkau, aku kembali kepadamu, dan akulah yang paling awal beriman”. (Al A’raf 143)
Kisah ini juga menegaskan bahwa Nabi Musa pada mulanya juga meragukan keimanannya. Namun setelah ia mengenali-Nya dengan ilmu, Nabi Musa pun menjadi tentram dan damai hatinya.
Kedua kisah yang diabadikan dalam Al Qur’an ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan sangat penting untuk meneguhkan keimanan. Keimanan yang teguh akan menghadirkan ketentraman dan kedamaian hati. Ketentraman hati akan melahirkan ketentraman dan kedamaian pada lingkungannya.
Inilah mungkin jawaban fenomena yang kita lihat saat ini, dimana banyak orang beriman tetapi tidak membawa ketentraman pada dirinya, alih alih pada lingkungan sekitarnya.
Pentingnya ilmu untuk meneguhkan iman juga dituturkan oleh Imam Al Ghazali, ketika beliau menjelaskan ‘kehebatan lapar sebagai jalan utama menuju makrifat’. Tanpa lapar, menurut Al Ghazali, mustahil seorang menjadi tenang hatinya. Hati yang tidak tenang mustahil mengantarkan pada mengenal diri. Dan hanya orang yang mengenal diri yang bisa mengenali Tuhannya.
Apa argumen bahwa lapar menenangkan hati? Bukankah justru lapar membuat hati kacau? Bukankah lapar yang telah melahirkan kejahatan-kejahatan?
Menjawab kegelisahan itu Al Ghazali menjelaskan secara ilmiah bagaimana lapar justru sebaliknya, mengantarkan pada ketenangan dan kejernihan batin. Di sela-sela argumennya, Al Ghazali menyatakan, mengapa saya menjelaskan secara ilmiah padahal saya sudah mengimaninya? Ya karena agar seorang naik dari derajat imam ke atas derajat ilmu.
Derajat ilmu bagi Imam Al Ghazali , lebih tinggi dari derajat imam. Inilah makna ayat:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“……maka Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman, dan akan mengangkat orang orang yang berilmu beberapa derajat….”.
Wallahu A’lam. []