Mubadalah.id – Sebagaimana akad yang lain, pernikahan memiliki hak dan kewajiban setelah diucapkan. Salah satunya adalah kewajiban suami memenuhi nafkah istri dan anak, sebagai timbal balik dari kebaikan suami, maka istri diwajibkan melayani kebutuhan rumah tangga yang lain seperti kebutuhan biologis suami. Sehingga perlu kita ingat juga. Ada hak istri dalam gaji suami.
Hal ini tak lain karena pernikahan bersifat simbiosis mutualisme yang saling memberi dan menguntungkan, mementingkan “apa yang bisa aku beri” bukan “apa yang kudapatkan” selaras dengan pesan suat At-Talaq ayat 7.
Namun kemudian ada jargon keliru “harta suami milik istri, harta istri milik istri.” Dalam hal ini suami merasa didiskriminasi, sebenarnya berapa hak istri dalam gaji suami?
Suami Wajib Memberi Nafkah
Di antara ayat Alquran yang mewajibkan suami memberi nafkah;
وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف “Kewajiban suami memberi makan dan pakaian kepada istri dengan cara yang baik ” (QS. Al-Baqarah: 233)
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضاروهن لتضيقوا عليهن وإن كن أولات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. Janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka” (QS. At-Talaq: 6)
Ayat pertama mewajibkan pakaian dan makanan. Ayat kedua mewajibkan tempat tinggal. Sampai di sini ulama sepakat bahwa suami punya tanggung jawab memenuhi sandang, pangan dan papan. Namun masih berbeda pendapat mengenai ukuran/kadar ketiganya.
Hindun binti ‘Utbah pernah mengeluhkan suaminya (Abu Sufyan) yang pelit mengeluarkan nafkah, Rasulullahpun membolehkannya mengambil uang Abu Sufyan secukupnya untuk dirinya dan anaknya.
Standar Nafkah
Ulama nomer wahid di madzhab Syafi’iyah dalam kitab induknya mengatakan bahwa yang menjadi patokan nafkah adalah kebisaan di tempat tinggal mereka. Bukan tempat orang lain yang kita lihat di instagram, twitter, facebook atau medsos lainnya. Apalagi beda strata ekonomi sosial seperti selebgram dari kalangan artis. Susah euy
Selanjutnya Imam Asy-Syafi’i menjelaskan rata-rata kebutuhan rumah tangga yang bisa jadi patokan nafkah suami kepada istri pada umumnya. Jika suami termasuk orang mampu (ekonomi ke atas) maka kewajiban perharinya adalah 2 mud (1.254 gr) makanan pokok di daerahnya, bisa beras, jagung, gandum atau lainnya. Tentu lengkap dengan lauk pauk yang layak.
Pendapat lain menambahkan, tiap minggu harus ada 1 ritl daging. Maka jika harga beras sekarang Rp 11.000 maka dalam sebulan Rp. 330.000, anggaplah harga lauk pauk Rp 15.000 perhari maka dalam sebulan Rp. 450.000. Maka hak pangan istri orang kaya dalam sebulan Rp 780.000. Ini hanya taksiran penulis, nominal bisa berubah sesuai harga pasar.
Dalam Al-Umm dikatakan dengan jelas bahwa istri tidak diwajibkan menyiapkan masakan di rumah, menanak nasi, menggoreng, membuatkan roti dan sebagainya. Sejatinya itu adalah tugas suami menyiapkannya. Oleh karenanya jika di daerah tempat tinggal lumrah ada pembantu rumah tangga maka suami juga harus menyediakannya (tentu, nafkah/gaji ditanggung suami).
Kebutuhan Sandang, Pangan dan Papan
Selain pangan, istri juga berhak menerima sandang dan pangan, pakaian dan rumah yang layak sesuai kebutuhan dan kemampuan suami. Pakaian meliputi baju yang suitable di setiap musim, musim dingin butuh baju yang agak tebal dan jika kemarau butuh baju yang adem. Termasuk parfum dan sisir juga menjadi primer dalam rumah tangga karena istri sunah berhias untuk suami dan sebaliknya.
Hak nafkah di atas untuk kalangan ekonomi ke atas, sedangkan untuk kalangan ekonomi ke bawah maka hak pangan istri dalam sehari turun menjadi 1 mud (6,75 gr) dan lauk pauknya automatis berubah sesuai kelayakan.
Sekali lagi, ini adalah ukuran rata-rata. Prinsipnya adalah At-Talaq ayat 7
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepaddanya. Allah akan memberikan kemudahan setelah kesulitan” (QS. At-Talaq: 7)
Nafkah Bersama
Ayat ini kelanjutan dari ayat yang menyebutkan kewajiban suami memberi nafkah (papan dan pangan) pada istri. Menandakan bahwa perkara nafkah tidak bersifat absolut wewenang suami, karena tidak kita pungkiri ada suami yang belum diberi kemampuan mengais rezeki, apakah setiap detiknya dia berdosa?
Tentu tidak. Asalkan tetap ada usaha memenuhi kewajiban menyejahterakan keluarga, in syaa Allah akan ada kemudahan demi kemudahan didapatkan. Saya suka dengan pesan seorang yang bijak pada keluarga saya, “Dalam rumah tangga, rezeki yang datang sejatinya adalah rezeki bersama. Harta yang datang melalui tangan suami merupakan harta istri dari jalan suami. Sebagaimana harta yang didapat istri adalah salah satu jalan rezeki suami.” waalLahu A’lam. []