Mubadalah.id – Pernikahan banyak macamnya. Ada pernikahan yang memenuhi syarat dan rukunnya. Ada juga pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Pernikahan yang memenuhi syarat dan rulunnya disebut pernikahan sahih. Sementara pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya disebut pernikahan batil dan fasid atau tidak sah. Apa saja pernikahan yang tidak sah menurut Islam?
Para ulama madzhab berbeda pendapat tentang pernikahan apa saja yang termasuk sahih, batil dan fasad. Syafi’iyah membedakan antara pernikahan batil dan fasid. Sebagaimana dikutip dari buku “Fiqh Munakahat, Hukum Pernikahan dalam Islam” karya Dr. Hj. Iffah Muzammil.
Batil, menurut Syafi’iyah, adalah pernikahan yang rusak rukunnya. Sedangkan fasid adalah pernikahan yang rusak syaratnya. Namun demikian, implikasi hukum keduanya sama, yakni seluruh hak dan kewajiban yang timbul dalam sebuah pernikahan sahih, tidak berlaku. Oleh karena itu, dalam pernikahan batil dan fasid, tidak ada kewajiban mahar, nafkah, nasab, ‘iddah, serta tidak terjadi keharaman mushaharah (hubungan kekeluargaan sebab adanya ikatan pernikahan).
Adapun pernikahan batil menurut Syafi’iyah di antaranya adalah :
1. Nikah shighar
Nikah syighar adalah pernikahan seorang perempuan dengan seorang laki-laki tanpa mahar, dengan perjanjian bahwa laki-laki itu akan menikahkan wali perempuan tersebut dengan perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Abdullah b. Muḥammad al-Ṭayyār dkk dalam kitab al-Fiqh al-Muyassar mengatakan, sebagaimana kutipan Dr. Hj. Iffah Muzammil, pernikahan model ini terjadi di zaman jahiliyah. Disebut shighār karena dinilai sebagai model pernikahan yang amat buruk sehingga disamakan dengan anjing yang mengangkat kakinya untuk buang air besar.
2. Nikah mut’ah
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang dilakukan seseorang untuk jangka waktu tertentu, misalnya satu tahun, atau satu bulan, satu hari, dan lain-lain. Pernikahan ini disebut mut’ah, karena dilakukan semata untuk mendapatkan manfaat dan kenikmatan untuk jangka waktu tertentu. Jumhur ulama sepakat bahwa pernikahan jenis ini batal.
3. Pernikahan saat salah satu pihak dalam keadaan ihram
Pernikahan saat salah satu pihak dalam keadaan ihram, baik ihram haji atau umrah, berdasarkan hadis Nabi :
“Dari ‘Uthman b. ‘Affān bahwa Rasulullah bersabda, ‘Seorang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan dan tidak boleh meminang”.
4. Seorang perempuan dinikahkan oleh dua orang walinya
Seorang perempuan dinikahkan oleh dua orang walinya, dengan dua orang laki-laki yang berbeda, tanpa diketahui yang mana yang lebih dahulu. Jika terjadi dukhūl (hubungan badan), baik oleh salah seorang ‘suami’, atau oleh ‘kedua suaminya’, maka harus membayar mahar mitsil. Jika diketahui pernikahan yang lebih dulu, maka pernikahan terdahulu yang sah. Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum maupun ketika terjadi pernikahan, atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang telah diterima oleh keluarga terdekat, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.
5. Pernikahan perempuan yang sedang menjalani ‘iddah.
Pernikahan perempuan yang sedang menjalani ‘iddah. Jika terjadi dukhūl (hubungan badan), maka harus dihukum dengan hukuman zina, namun jika tidak tahu bahwa pernikahan semacam itu haram, maka tidak berlaku hukuman zina.
6. Pernikahan dengan orang yang ragu akan kehamilannya
Pernikahan dengan orang yang ragu akan kehamilannya sebelum menyelesaikan masa ‘iddah. Sekalipun ia telah menyelesaikan ‘iddah 3 kali suci/haid, pernikahan itu tetap haram, karena diragukan masa ‘iddah-nya, apakah 3 kali suci/haid (quru’) atau hingga melahirkan (karena ragu hamil atau tidak).
7. Pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan kafir selain Ahli Kitab.
8. Pihak perempuan berpindah agama
9. Pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki non muslim, serta pernikahan dengan orang murtad. []