Mubadalah.id – Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian, menegaskan bahwa rentetan bencana di Aceh dan wilayah Sumatera bukanlah fenomena baru. Deretan daerah lain seperti Kalimantan Barat, Bengkulu, Gorontalo, Palembang, hingga Kalimantan Selatan pun telah lebih dulu berada di jalur kerusakan ekologi yang lama diperingatkan, namun terus diabaikan.
“Apa yang terjadi di Aceh dan Sumatera lainnya bukan kejadian tunggal. Ini pola. Pola akibat hilangnya ekosistem paling penting yang kita punya yaitu hutan,” katanya.
Hal itu ia ungkapkan dalam Tadarus Subuh ke-173 bertema “Kerusakan Ekologi: Tanggung Jawab Negara, Agama, dan Komunitas” yang digelar pada Minggu, 7 Desember 2025.
Uli menguatkan apa yang sebelumnya disinggung oleh Umi Hanisah terkait krisis iklim. Menurutnya, suhu bumi bukan lagi sekadar meningkat, ia sudah memicu rangkaian peristiwa ekstrem yang menimpa jutaan warga di garis depan bencana.
Salah satu contohnya adalah siklon Senyar, yang baru-baru ini mengejutkan masyarakat Sumatera. Dalam kondisi normal, siklon tak mungkin tumbuh di wilayah khatulistiwa karena membutuhkan suhu permukaan laut yang sangat tinggi. Tetapi hari ini, perairan Indonesia justru menyediakan energi panas yang cukup untuk melahirkan badai.
“Pertanyaannya, mengapa siklon bisa tumbuh dan bergerak sampai ke daratan Indonesia? Karena suhu permukaan laut kita meningkat drastis. Krisis iklim memberi energi pada bibit siklon untuk hidup, membesar, dan memporak-porandakan daratan,” ungkapnya.
Bukit Barisan
Ketika badai itu masuk ke wilayah berpegunungan yang terjal seperti Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara hingga Lampung, maka kerusakan menjadi tak terelakkan. Bukit Barisan, bentang pegunungan yang selama ratusan tahun menjadi tulang punggung ekologi Sumatera, kini kehilangan daya tahannya.
“Hutan-hutan yang seharusnya menjadi tameng pertama bencana justru yang paling banyak dibebani izin,” jelas Uli.
Dari izin tambang, kebun industri, perkebunan sawit monokultur, pembangunan PLTA, panas bumi, hingga proyek strategis nasional. Semuanya ditempatkan di kawasan yang menjadi tulang punggung ekologi tersebut.
Ketika hujan ekstrem datang, hutan yang hilang tak lagi punya kemampuan menahan air. Tanah longsor, sungai meluap, dan banjir bandang menjadi konsekuensi tak terhindarkan.
Bahkan, kerusakan daerah aliran sungai (DAS) merupakan bukti paling gamblang. Di Aceh, WALHI mencatat 90% DAS rusak akibat pertambangan ilegal dan alih fungsi hutan menjadi sawit.
Sementara di Sumatera Barat, DAS yang meluap saat banjir merupakan bagian dari bentang alam Batang Toru—wilayah yang menjadi rumah bagi spesies endemik, hulu sungai, dan penyangga ekologi. Namun di sana berdiri 18 izin perusahaan, yang saban tahun membuka hutan untuk sawit, tambang, dan pembangunan PLTA.
“Bayangkan, wilayah yang fungsinya melindungi justru diserahkan pada aktivitas yang merusak. Maka ketika bencana datang, ekosistem kita tidak punya daya redam. Hasilnya adalah banjir bandang yang menghancurkan rumah, memutus jalan, dan merenggut nyawa,” tegas Uli.
Hilangnya Ekosistem
Rangkaian bencana di Sumatera sepanjang tahun ini memperlihatkan hal yang sama yaitu hutan yang hilang membuat Sumatera tak lagi punya benteng ekosistem.
Di wilayah yang seharusnya memiliki kemampuan alami untuk menahan air, kini yang tersisa hanyalah tanah gundul dan bentang monokultur yang tak mampu menyerap curah hujan ekstrem.
Apa yang terjadi bukan sekadar fenomena alam. Melainkan konsekuensi dari keputusan politik yang keliru baik di tingkat izin, tata ruang, maupun penegakan hukum.
Ketika sungai-sungai meluap, ketika lumpur menyapu kampung, dan ketika warga kehilangan tempat tinggal, kita sedang menyaksikan hasil terakhir dari sebuah proses panjang perusakan yang dilegalkan.
Oleh karena itu, diskusi pagi itu mengingatkan bahwa kerusakan ekologi bukan perkara teknis, tetapi tanggung jawab negara.
Negara harus memperbaiki tata kelola sumber daya alam, menghentikan ekstraksi rakus, dan memulihkan hutan yang tersisa.
Uli mengingatkan bahwa banjir bandang dan longsor bukan bencana alam. Ini bencana kebijakan. “Dan selama izin terus pemerintah berikan tanpa memikirkan daya dukung ekologi, Sumatera akan terus jatuh di titik yang sama,” tukasnya. []








































