Mubadalah.id – Realitas budaya hari ini tidak jauh berbeda dengan kondisi zaman Jahiliyah. Cita-cita ideal Islam yang menjadi Rahmat bagi seluruh makhluk belum terwujud secara maksimal. Masyarakat masih hidup di tengah bayang-bayang patriarkisme. Anggapannya perempuan masih menjadi the second sex.
Laki-laki masih mereka anggap lebih tinggi derajatnya daripada perempuan. Karena pemahaman bahwa perempuan memang tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Padahal dalil al-Qur’an telah menjelaskan dengan konkrit tentang asal mula penciptaan manusia yang tercipta dari komposisi dan proses yang sama.
Selain itu, konstruksi sosial juga mendomestikasi perempuan. Kewajiban sosial yang diamanahkan padanya hanya berkutat untuk mengurus keluarga atau melayani suami. Sedangkan laki-laki berada di ranah publik.
Padahal Al-Qur’an mengamanahkan manusia baik laki-laki maupun perempuan bersama-sama mengabdi untuk kemanusian dan secara bersama-sama mengimarahkan bumi. Hal ini menjadi bukti Islam agama ramah gender. Ironisnya, pemahaman misoginis tersebut anggapannya sebagai legitimasi dari teks-teks otoritatif. Yakni al-Qur’an dan hadis. Sehingga dianggap sebagai kodrat dari Ilahi dan transenden.
Refleksi Budaya Masa Kini dan Masa Lalu
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ
Artinya: “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya.” (Qur’an Surah an-Nisa (4):34)
Husein Muhammad dalam bukunya Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender, beliau mengutip dari pendapat Fakhruddin ar-Razi. Bahwasanya beliau sangat meyakini superioritas laki-laki atas perempuan dalam hal ilmu pengetahuan (‘ilm) dan kemampuan (al-qudrah).
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwasanya tingkat intelektualitas dan pengetahuan laki-laki lebih dominan daripada perempuan. Sehingga, laki-laki lebih mampu untuk bekerja keras dibandingkan perempuan.
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ
Artinya: “Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Qur’an Surah al-Baqarah (2):228)
Terhadap ayat di atas, Ashgar Ali Engineer dalam bukunya Tafsir Perempuan menyatakan bahwa ayat di atas harus kita analisis secara lebih hati-hati. Dalam ayat tersebut mengatakan antara laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tetapi pernyataan selanjutnya yang mengatakan laki-laki memiliki derajat lebih tinggi daripada perempuan menggambarkan kontradiksi.
Namun, kita lihat dalam konteks yang sesuai dan bijaksana, pernyataan dalam ayat itu sejatinya sedang menggambarkan realitas sosial masyarakat pada zaman tersebut. Begitupula dengan ayat yang pertama. Sehingga, leksikal ayat di atas bukan perintah yang bersifat legal-normatif.
Keadilan Gender dalam Teks-teks Agama
Kedatangan Islam menjadi sebuah harapan besar untuk peradaban yang berkeadilan. Islam datang sebagai rahmatan lil alamin. Hal tersebut sejalan dengan misi profetik Rasulullah saw. Yaitu tegaknya kehidupan manusia yang bermoral luhur dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humanism) universal.
Husein Muhammad dalam bukunya Islam Agama Ramah Perempuan menjelaskan bahwasanya humanisme secara agama kita maknai sebagai akhlaqul karimah.
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Artinya: “Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (Q.S al-Anbiya (21):107
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
Artinya: “Aku diutus Tuhan hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang luhur” (H.R. Imam Malik bin Anas)
Husein Muhammad dalam bukunya yang lain, Islam Agama Ramah Perempuan menjelaskan bahwasanya humanisme secara agama kita maknai sebagai akhlaqul karimah. Pada konteks sekarang humanisme universal kita artikan sebagai hak asasi manusia.
Melihat Prinsip Kemanusiaan Universal
Prinsip-prinsip kemanusiaan universal tersebut antara lain kita upayakan melalui penegakan keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap hak-hak orang lain tanpa diskriminasi. Sehingga, tidak ada suatu jenis kelamin pun yang boleh menghegemoni jenis kelamin lainnya.
Karena di dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang setara antara keduanya. Tidak ada pembeda di antara keduanya, melainkan hanya dari sisi ketakwaannya. Hal tersebut termaktub dalam beberapa nash al-qur’an berikut ini:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Qur’an Surah at-Taubah (9):71).
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan.” (Q.S.an-Nahl (16):97)
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗ
Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (Qur’an Surah al-Hujurat (49):13).
Meneladani Nabi
Terhadap realitas sosial yang mendemarkasi peran laki-laki dan perempuan di ranah publik dan domestik, Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya 60 Hadits Shahih Khusus Tentang Hak-Hak Perempuan Dalam Islam Dilengkapi Penafsirannya, mengutip dari kitab Shahih Bukhari bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
عَنِ اْلأَسْوَدِ بْنِ يَزِيْدٍ قَالَ سَأَلْتُ عَاءِشَةَ مَاكَانَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يَصْنَعُ فِيْ بَيْتِهِ قَالَتْ كَانَ يَكُوْنُ فِيْ مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِيْ خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ
Artinya: “Aswad bin Yazid berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah Ra. mengenai apa yang diperbuat Nabi Muhammad saw di rumah. Aisyah menjawab, ‘Beliau selalu membantu keluarganya. Ketika datang waktu shalat, beliau bergegas pergi untuk melaksanakan shalat.”
Berdasarkan kedua dalil di atas, sangat jelas bahwa Rasulullah saw tidak pernah membeda-bedakan atau mengkhususkan kerja-kerja domestik hanya untuk Perempuan. Sebagai seorang muslim, semoga semakin banyak laki-laki demokratis sebagaimana teladan Rasulullah saw. Wallahu a’lam. []