Mubadalah.id – Pernahkah kita bertanya-tanya, apa yang sebenarnya menghambat penyandang disabilitas untuk maju dan berdaya? Apakah karena keterbatasan fisik atau mental mereka? Atau justru karena cara pandang masyarakat yang membatasi mereka?
Stigma Negatif dan Dampaknya dalam Kehidupan
Stigma atau pandangan negatif yang disematkan bagi penyandang disabilitas sering kali muncul dalam bentuk anggapan bahwa mereka tidak mampu produktif, bahkan menjadi beban bagi masyarakat. Kondisi membuat mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan, pendidikan yang layak, serta aksesibilitas ke berbagai fasilitas publik.
Dampaknya terasa di berbagai aspek kehidupan. Dalam dunia kerja, masih banyak perusahaan yang ragu untuk mempekerjakan penyandang disabilitas dengan alasan kurang atau sering merepotkan. Di bidang pendidikan, akses terhadap sekolah atau universitas yang ramah disabilitas masih terbatas. Banyak anak penyandang disabilitas yang akhirnya tidak mendapatkan pendidikan yang layak hanya karena sekolah mereka tidak menyediakan fasilitas yang mendukung.
Lebih parahnya lagi, stigma juga bisa membuat penyandang disabilitas kehilangan rasa percaya diri. Ketika mereka terus-menerus mendapat stigma negatif dengan ketidakmampuan melakukan sesuatu, lama-kelamaan mereka pun mulai mempercayai dan meng’amin’kannya.
Hal ini tentu menciptakan lingkaran setan yang sangat sulit diputus. Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, memiliki pandangan yang sangat jelas: semua manusia setara dan saling membutuhkan, tanpa terkecuali.
Kisah Julaybib : Islam Menolak Stigma Negatif
Salah satu prinsip utama dalam Islam adalah bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama di hadapan Allah. Dalam Al-Qur’an, surat Al-Hujurat ayat 13 menegaskan bahwa tidak ada perbedaan nilai antara satu manusia dengan manusia lainnya, termasuk penyandang disabilitas dan non disabilitas. Pandangan bahwa penyandang disabilitas lebih rendah daripada non disabilitas adalah bertentangan dengan ajaran Islam.
Dalam sejarah Islam, ada kisah menginspirasi tentang Julaybib, seorang sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang mengalami diskriminasi karena kondisi fisik dan status sosialnya. Julaybib digambarkan sebagai pria bertubuh kecil dan memiliki penampilan yang dianggap kurang menarik.
Lebih dari itu, ia juga tidak memiliki garis keturunan yang jelas, sesuatu yang sangat penting dalam masyarakat Arab kala itu. Tanpa dukungan suku atau keluarga yang kuat, Julaybib sering mengalami penolakan dari lingkungan sekitarnya, meskipun ia adalah seorang Muslim yang taat.
Namun, Nabi Muhammad tidak membiarkan stigma ini terus berlanjut. Dengan penuh kasih sayang, beliau secara langsung mencarikan pasangan untuk Julaybib dengan mendatangi orang tua seorang wanita terhormat di Madinah. Awalnya, mereka terkejut dan ragu, tetapi putri mereka justru menerima lamaran tersebut dengan hati yang ikhlas. Pernikahan ini menjadi langkah nyata untuk menghapus pandangan negatif masyarakat terhadap Julaybib.
Tidak hanya itu, Julaybib juga membuktikan keberaniannya di medan perang. Ia bertempur dengan gagah berani di samping Nabi hingga akhirnya gugur sebagai syahid. Rasulullah sendiri yang menguburkannya dan dengan penuh penghormatan bersabda, “Dia adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari dirinya.”
Hadis ini ini menunjukkan bahwa Islam tidak melihat rendahnya seseorang karena fisik atau latar belakangnya., melainkan setiap manusia memiliki martabat yang sama dan berhak mendapatkan tempat terhormat di masyarakat.
Semangat tolong menolong : Menumbuhkan Stigma Positif
Islam tidak hanya menekankan kesetaraan, tetapi juga konsep saling memberikan manfaat satu dengan yang lainnya. Dalam kehidupan ini, tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Penyandang disabilitas bukan kelompok yang hanya dapat menerima manfaat atau pertolongan, namun mereka juga dapat memiliki peran dan kesempatan dalam memberikan manfaat yang luas.
Dalam Islam, konsep ini tergambar dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 2 yang menjelaskan agar saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Tolong-menolong dalam kebaikan berarti memberikan mereka kesempatan yang sama, bukan sekadar merasa iba. Penyandang disabilitas bukan objek belas kasihan, tetapi bagian dari masyarakat yang memiliki potensi dan hak yang sama.
Hadis Rasulullah menyebutkan “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Manusia yang paling baik bukanlah yang paling kaya atau paling berkuasa, tetapi mereka yang paling banyak memberikan manfaat dan saling tolong menolong.
Artinya, Islam tidak memandang nilai seseorang dari status atau hartanya, melainkan dari sejauh mana ia bisa membantu, mendukung, dan memberikan dampak positif bagi sesama. Oleh karena itu, perubahan stigma negatif menjadi positif dapat menjadikan penyandang disabilitas lebih mudah menunjukkan keahlian, bakat, dan kontribusi mereka dalam berbagai bidang sesuai dengan peran dan kemampuannya. []