Islam merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia, bahkan dunia mencatat jumlah pemeluk tertinggi ada di negeri ini yang sangat menjunjung tinggi demokrasi. Tidak hanya islam, rasanya semua agama diturunkan untuk membawa rahmat untuk semesta, apalagi Islam. Ada banyak literatur yang bisa kita baca untuk mengetahui apa makna Islam, berdasarkan kemurnian katanya Islam memiliki sejumlah arti diantaranya bermakna kedamaian, kesehatan, dan keselamatan. Lalu, apakah hari ini Islam sudah hadir dalam kehidupan kita?
Masih ingatkah dengan rentetan peristiwa teror yang pernah terjadi hingga membuat tanah air kita berlinang air mata. Tindakan kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku teror dengan mengatasnamakan agama yang tak sedikitpun pantas disebut sebagai ‘pembela agama’, maka wajar jika mereka disebut teroris. Tidak sedikit korban kehilangan nyawa, harta, keluarga, hingga tak ada yang tersisa selain cerita belaka. Begitukah kita hidup beragama, hingga lupa menjadi manusia bernyawa dan fana?
Belum hilang dari ingatan peristiwa peledakan bom yang dilakukan satu keluarga, seorang anak perempuan bersama dua kakanya berada dalam aksi keji itu. Anak perempuan selamat itu bernama Anisa berusia 8 tahun, dia harus berjuang hidup sendiri tanpa orang-orang yang selama ini dianggap paling menyayangi dan mengasihinya.
Karena, keluarga yang Anisa cinta justru menjerumuskan pada kepahitan berujung petaka. Masa kecil Anisa begitu gelap, dia dicekoki tayangan penuh kekerasan yang dianggapnya sebagai jalan jihad oleh orang tuanya. Anisa malang, tidak tahu seperti apa dunia luar, hidupnya bergejolak bahwa dia akan ditolak oleh teman dan keluarga. Bersyukur, saat ini Anisa telah pulih, kembali bersekolah dan senang setelah mendapat perlindungan.
Sering sekali kita diceritakan kisah-kisah Nabi yang berjuang dalam perang menghadapi orang-orang kafir di masa lalu, tidak sedikit juga kemudian dipahaminya seolah Islam agama perang. Cerita-cerita itu sampai hari ini masih didengungkan oleh banyak orang di banyak tempat, baik di ruang tertutup maupun terbuka seperti di rumah, sekolah, pesantren, bahkan dalam pertemuan-pertemuan luar biasa dengan jumlah masa yang besar. Tak ada yang salah dengan ceritanya selama direfleksikan dengan baik dan menjadi pengetahuan yang bijaksana dalam mewujudkan kemaslahatan.
Mari kita ingat lagi, kisah perang yang pertama kali terjadi pada bulan ramadhan, saat diturunkannya kitab suci al-quran waktu itu. Bagaimana mungkin dibulan yang penuh berkah dan magfirah melakukan perang, bahkan ada bulan-bulan dimana umat Islam dilarang berperang namun tidak dengan ramadhan. Bagaimana ini, rupanya kita penting untuk memetik hikmah dan pemaknaan turunnya al-quran sebagai petunjuk kehidupan bahwa ramadhan sebagai bulan suci penuh ampunan. Sekalipun harus dilakukan perang maka itu dilakukan tidak karena nafsu dan dendam, akan tetapi dengan alasan penuh cinta kasih serta membuka pintu maaf seluas-luasnya kepada musuh saat mereka memohon ampunan.
Seperti apa perang yang didasari cinta kasih, tidak mudah memang, namun hal itu bukan tidak mungkin bisa kita lakukan. Allah telah menciptakan kita sebagai manusia dari ruh-NYA yang Maha Pengasih dan Penyayang, begitu dikatakan al-quran. Kita sebagai makhluk-NYA yang seluruhnya cinta kasih, jika ada benci maka itu bukan pada pribadinya melainkan pada perilakunya.
Tentu saja jika ada orang buruk maka kita benci keburukannya, dengan mencintainya kita tidak ingin dia terjebak pada kejelekannya justru yang dilakukan adalah menjauhinya. Dahulu dilakukan dengan perang jika dia telah terjebak dalam kedzhaliman nyata memerangi Islam. Hal itu dilakukan untuk menghentikan kedzhaliman itu sendiri bukan dalam rangka menyebarkan agama Islam.
Bukankah tidak ada paksaan dalam agama, tak satupun perang dilakukan dengan landasan menyebar dakwah. Ketika orang melakukan kejahatan kemanusiaan tidaklah memerangi mereka, mari mencari perdamaian, Islam melakukannya dengan syuro, musyawarah. Jika tidak ditemukan dengan jalan musyawarah maka dilakukanlah perjanjian untuk tidak saling melukai dan menyakiti. Jika tak ada jalan yang bisa dilalui selain perang maka itu dilakukan semata dengan landasan cinta kasih dengan penuh pengampunan. Jadi, pada saat musuh memohon maaf maka maafkan, jika memohon damai, berikan, sekalipun itu hanya muslihat.
Semoga kita masih ingat dengan kisah sahabat Nabi, pada saat terjadi peperangan ada seorang musuh terpojok kemudian mengucap syahadat namun sahabat tetap melakukan kekerasan. Setelah perang usai kemudian Nabi marah kepada sahabat “kau membunuhnya setelah dia mengucapkan syahadat?” sahabat menjawab “Iya Nabi, karena saya tahu syahadatnya itu bohong”.
Kemudian Nabi bertanya lagi “bagaimana tahu kalo dia berbohong, apakah kamu tahu isi hatinya?”. Disitulah letak kemarahan Nabi, sekalipun musuh menyatakan perdamaian hanya untuk siasat kita sekedar bisa menghukumi dzhohirnya saja karena hati sesungguhnya hanya Allah yang Maha Mengetahui.
Islam mengajarkan kita untuk pandai memanah dan berkuda, apakah ini artinya kita disiapkan untuk menghadapi musuh dengan berperang? hal itu semata dilakukan agar musuh takut dan segan sehingga terjadinya peperangan dapat diminimalisir sedini mungkin. Jauh dari itu, peperangan dilakukan dengan landasan untuk membela dan mempertahankan diri, jika belum diserang tidak dibolehkan lebih dulu menyerang.
Islam sangat menjaga nilai dan etika dalam berperang, diantara yang perlu diperhatikan adalah tidak boleh membunuh hewan, tanaman, perempuan dan anak. Bahkan pada saat kondisi hidup dan mati islam mengamanahi untuk tidak membunuh tokoh agama dan menghancurkan rumah ibadah lain. Maka jelas sudah perang dalam Islam bukan untuk menghancurkan melainkan bagaimana menjaga toleransi.
Pada masanya, sepanjang usia Nabi selama 63 tahun tidak melulu kehidupannya dihabiskan di medan perang, setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul pada usia 40 tahun dalam tugas kenabiannya kurang dari 90 hari saja dilakukan untuk berperang. Artinya, kehidupan Nabi hanya 1% dilakukan untuk perang dan selebihnya 99% masa kenabian selama 23 tahun diabdikan untuk dua hal saja yaitu untuk menegakan perdamaian dan menjadi rahmat bagi sesama.
Kemudian menjadi manusia berbudi luhur dan bermoral tinggi yang dalam Islam disebut akhlaq. Tak ada lagi gundah, gelisah, tegas. Maka terang sudah bahwa Islam menolak kekerasan. Perang Nabi hanya dilakukan dengan regulasi dan cinta kasih. Mari kita sebar benih toleransi sampai tumbuh menjadi nilai dalam kehidupan yang saling menghargai dan menghormati hingga nanti. Karena jihad tidak jahat dan perang tidak garang, itulah Islam! []