Mubadalah.id – Dalam ‘Two Treatises of Government’-nya, John Locke menentang teori patriarki tentang hak ilahi raja dan konstruksi patriarki dalam keluarga. Di mana ia menganggap sebagai sebuah penyimpangan yang dilakukan oleh para pendahulunya di Abad Pertengahan. Dia bertanya-tanya, “Mengapa status orang tua sering kali tersentralisasi pada ayah, seolah-olah ibu tidak memiliki andil di dalamnya (rumah tangga dan perawatan anak)?”
Locke memandang status ibu dan ayah setara dalam rumah tangga. Setidaknya begitulah jika kita “merujuk pada akal budi dan wahyu.” Maka penting bagi kita untuk mengubah orientasi rumah tangga dari ‘paternal power’ (kuasa ayah) ke ‘parental power’ (kuasa orang tua), sebagai simbol kesetaraan antara status kedua orang tua.
Locke percaya bahwa model keluarga seperti di atas merupakan gambaran ideal bagi sistem pemerintahan secara umum. Mengapa demikian? Sebab jika status ibu dan ayah dalam keluarga kita akui setara, maka otoritas pemerintahan apa pun yang merujuk pada sistem keluarga tersebut secara tidak langsung akan mengakui persetujuan dari banyak pihak daripada aturan absolut dari satu pihak.
Sampai di sini tampaknya John Locke menentang pandangan patriarki dalam konteks keluarga. Pandangan Locke di atas sekilas mengarah pada politik proto-feminisme. Ya, mungkin begitulah yang akan banyak orang pikirkan. Terutama jika kita membaca karya Locke secara parsial tanpa mengeksplorasi bagian-bagian lain dalam ‘Treatises’. Sebab klaim Locke di bagian lain dalam bukunya sedikit berbeda.
Di BAB ke-VII, misalnya, Locke mengklaim bahwa ayah, “sebagai figur yang lebih mampu dan lebih kuat.” Seharusnya secara alami memiliki kekuasaan eksekutif dalam keluarga. Dia menegaskan bahwa ayah adalah “pemimpin keluarga dengan semua relasi bawahan berupa istri, anak, pembantu, dan budak, yang disatukan di bawah aturan-aturan domestik keluarga.” Pada akhirnya, ia mengklaim bahwa “sistem paternalistik adalah pemerintahan alamiah” dalam keluarga.
Locke Menentang Sistem Pemerintahan Patriarki
Jadi, apakah Locke mendukung patriarki atau tidak? Jawaban untuk pertanyaan ini relatif. Tetapi sejauh pemahaman saya, Locke pada dasarnya menentang sistem pemerintahan patriarki yang absolutis. Meskipun dia tetap mempertahankan struktur patriarki dasar dalam keluarga.
Terlepas dari itu, penting untuk kita perhatikan bahwa dalam pandangan Locke, hubungan keluarga dan sistem pemerintahan itu sangat erat kaitannya. Sistem keluarga pada dasarnya berawal dari hubungan pernikahan yang merupakan bentuk “masyarakat pertama”. Hubungan suami-istri antara laki-laki dan perempuan berasal dari apa yang Locke anggap sebagai “persekutuan antar kepentingan” yang alamiah. Yaitu prokreasi dan keberlanjutan spesies.
Menurut teori Locke, pernikahan berdasarkan pada hukum alam dan merupakan wilayah yang terpisah dari masyarakat sipil dan kontrak sosial-politik. Sederhananya, pernikahan kita konseptualisasikan sebagai praktik yang berada dalam ranah privat dan tentu saja berada di luar ranah publik. Dengan demikian jelas bahwa menurut Locke, pernikahan merupakan sesuatu yang alamiah yang tidak memerlukan keterlibatan atau campur tangan pihak lain di luar dari pasangan yang terlibat.
Dukungan dari Hegel
Beberapa dekade kemudian, gagasan Locke ini mendapatkan dukungan dari G.W.F. Hegel dalam ‘Phenomenology of Spirit’ setelah mendapatkan kritikan keras dari Immanuel Kant. Hegel melanjutkan apa yang telah digagas oleh Locke. Ia menyatakan bahwa pernikahan merupakan wilayah kehidupan di mana teori kontrak—politik atau sosial—tidak dapat mengintervensinya. Alasannya karena sentimen-sentimen seperti cinta dan kasih sayang sudah cukup menjadi pengatur dalam keluarga.
Hegel memandang kehidupan keluarga sebagai tempat bagi anak-anak untuk mempelajari nilai-nilai dan perilaku-perilaku tertentu. Seperti kepercayaan dan rasa persaudaraan, yang nantinya akan berguna bagi mereka ketika mereka mengemban tanggung jawab di masyarakat.
Selain itu, Hegel juga mendukung keterpisahan kehidupan keluarga berdasarkan esensialisme gender. Laki-laki dan perempuan memiliki sifat yang berbeda, yang tercermin dalam ruang lingkup dan sifat orientasi etikanya. Perempuan tumbuh dalam kehidupan keluarga di mana hukum ilahi (atau hukum alam) berlaku, sementara laki-laki tumbuh dari lingkungan di mana hukum manusia berlaku.
Dia mengklaim bahwa laki-laki seperti hewan, kuat dan aktif, cocok untuk hidup bernegara, belajar, dan bekerja, sementara perempuan pasif dan subjektif, lebih seperti tumbuhan daripada hewan, dan cocok untuk kehidupan keluarga dan emosionalitas.
Di sini penting untuk melihat bagaimana esensialisme gender ala Hegel ini berlaku: esensialismenya menjamin bahwa perempuan tetap berada di ranah privat, karena perempuan tidak memiliki sifat alami yang dibutuhkan untuk bertransisi ke ranah publik. Di sisi lain, hanya laki-laki yang dapat mewakili kepentingan keluarga karena hanya laki-laki yang berpartisipasi dalam kehidupan publik dan familiar dengan hukum manusia.
Tentu saja teori esensialisme gender menuai banyak kritik di kalangan para feminis. Beberapa kritikan tersebut telah saya rangkum di tulisan saya di Mubadalah sebelumnya. []