Mubadalah.id – Aktivis, penulis, dan akademisi Indonesia Julia Suryakusuma menyoroti serius persoalan kekerasan seksual, khususnya di lingkungan pesantren, serta sikap ambivalen sejumlah tokoh publik terhadap feminisme yang dinilainya berpotensi melemahkan upaya perlindungan perempuan dan kelompok rentan.
Hal tersebut disampaikan Julia dalam Dialog Publik Halaqah Kubra Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diselenggarakan di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (12/12/2025).
Dalam paparannya, Julia menegaskan bahwa kekerasan seksual bukanlah persoalan individual atau insidental. Melainkan masalah struktural yang terpengaruhi oleh budaya patriarki, relasi kuasa yang timpang, kebijakan yang tidak berpihak pada korban, serta lemahnya sistem perlindungan dan pemulihan.
Menurut Julia, lingkungan pesantren tidak dapat kita lepaskan dari risiko tersebut. Ia mengingatkan bahwa ratusan ribu santri berada dalam posisi rentan terhadap kekerasan seksual dan membutuhkan perlindungan yang serius dari negara, lembaga pendidikan, serta masyarakat luas.
“Kekerasan seksual selalu berkaitan dengan kekuasaan, bukan semata-mata moral individu,” ujar Julia.
Ia juga mengkritik keras pernyataan sejumlah pejabat publik dan tokoh agama yang meremehkan atau menyangkal skala kekerasan seksual. Meskipun sebelumnya kita kenal memiliki rekam jejak dalam advokasi keadilan gender dan hak perempuan.
Menurutnya, sikap semacam ini menunjukkan inkonsistensi dan berpotensi menciptakan normalisasi kekerasan.
“Sikap ambivalen terhadap feminisme sangat berbahaya, karena bisa menjadi kemunduran serius bagi perjuangan perempuan. Terutama ketika gerakan anti-feminis dan konservatisme semakin menguat,” kata Julia.
Julia menilai bahwa penyangkalan terhadap kekerasan seksual tidak hanya melukai korban. Tetapi juga menghambat lahirnya kebijakan dan mekanisme perlindungan yang efektif.
Karena itu, ia menekankan pentingnya pendekatan lintas sektor yang melibatkan negara, institusi keagamaan, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil.
Ia menegaskan, upaya penghapusan kekerasan seksual harus berlandaskan pada prinsip keadilan, penghormatan terhadap martabat manusia. “Serta keberpihakan pada korban, sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam ajaran Islam,” tukasnya. []










































