• Login
  • Register
Kamis, 29 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Rekomendasi

Kafa’ah yang Mubadalah: Menemukan Kesepadanan dalam Moral Pasutri yang Islami

Kafa’ah sejati dalam etika mubadalah, bukan tentang berasal dari keluarga siapa atau memiliki apa, tetapi ke mana arah hidup ingin dituju bersama.

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
27/05/2025
in Rekomendasi, Zawiyah
0
Kafa'ah yang Mubadalah

Kafa'ah yang Mubadalah

1.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Apakah dua orang layak membangun bahtera rumah tangga bersama hanya karena mereka berasal dari kelas sosial yang sama? Karena menyandang gelar dan nama keluarga yang seimbang? Karena tingkat pendidikan yang setara? Atau karena pekerjaan dan kondisi keuangan mereka kita anggap serupa?

Ataukah—sebaliknya—kesepadanan sejati justru lahir dari kemampuan mereka untuk saling memperlakukan dengan martabat, keadilan, ketulusan, dan tanggung jawab. Terlepas dari latar belakang sosial yang terwariskan?

Selama berabad-abad, kitab-kitab fiqh klasik telah meletakkan kafa’ah (kesepadanan) sebagai salah satu pertimbangan utama dalam pernikahan. Lima hal yang lazim kita jadikan ukuran adalah: agama, nasab, status sosial, kekayaan, dan kemolekan fisik. Pertimbangan ini muncul dalam kerangka menjaga kehormatan keluarga, menghindari konflik sosial, dan memastikan stabilitas relasi rumah tangga.

Namun, ketika kita hidup di zaman yang semakin menghargai kebebasan memilih, kesetaraan hak, dan kualitas personal, pertanyaan-pertanyaan kritis pun mengemuka. Masih layakkah kesepadanan kita nilai dari faktor-faktor yang terwariskan? Atau justru kita perlu menilai dari faktor-faktor yang bisa kita bentuk, dikembangkan, dan kita rawat dalam proses relasi itu sendiri?

Lebih dari itu, dinamika sosial hari ini meniscayakan mobilitas antardaerah bahkan antarnegara, karena kebutuhan pendidikan, pekerjaan, pilihan politik, atau orientasi hidup yang semakin beragam.

Baca Juga:

Fondasi Kehidupan Rumah Tangga

Najwa Shihab dan Ibrahim: Teladan Kesetaraan dalam Pernikahan

Menjadi Perempuan dengan Leluka yang Tak Kutukar

Jalan Mandiri Pernikahan

Dalam dunia yang cair dan terbuka seperti ini, kapasitas individu menjadi tolok ukur yang lebih relevan daripada asal-usul kekerabatan. Termasuk dalam hal kesiapan membangun kehidupan rumah tangga yang sehat, setara, dan berkelanjutan.

Maka, dalam konteks hari ini, kafa’ah tidak lagi cukup kita pahami sebagai “keseimbangan status sosial”, melainkan sebagai kesiapan etis dan karakter relasional yang memungkinkan dua insan saling bertumbuh dan saling memuliakan dalam pernikahan mereka.

Moralitas Kafa’ah dalam Perspektif Mubadalah

Hari ini, kita perlu membaca ulang konsep kafa’ah—bukan lagi dengan kacamata status sosial yang terwariskan, tetapi melalui lensa etika relasional yang hidup.

Dalam perspektif Mubādalah, kafa’ah adalah tentang kemampuan dua insan untuk saling merawat, saling menumbuhkan, dan saling memuliakan dalam relasi pernikahan yang setara dan berkeadaban. Inilah yang dapat kita sebut sebagai kafa’ah mubādalah. Kesepadanan yang terbangun dari kesalingan dan komitmen untuk bertumbuh bersama.

Menariknya, semangat ini memiliki resonansi mendalam dengan teori Moral Foundations yang dikembangkan oleh Jonathan Haidt, seorang ilmuwan psikologi moral kontemporer.

Dalam teorinya, Haidt mengusulkan enam fondasi moral universal yang menjadi pijakan etis dalam berbagai budaya dan masyarakat. Kepedulian (care), keadilan (fairness), loyalitas (loyalty), otoritas (authority), kesucian (sanctity), dan kebebasan (liberty) dari segala bentuk penistaan, kekerasan dan kezaliman.

  1. Kepedulian yang Menguatkan

Pasutri yang sekufu adalah mereka yang saling peduli pada penguatan dan perlindungan. Maka, ukuran kafa’ah bukan “berasal dari mana.” Tapi “apakah dia mampu berelasi dengan cinta kasih yang melindungi, menguatkan, dan menentramkan?”

Inilah yang al-Qur’an gambarkan dalam relasi pernikahan: “Litaskunū ilayhā”—agar kalian memperoleh ketenangan darinya— dengan dasar mawaddah (cinta yang hangat) dan rahmah (kasih yang melindungi).

Kesepadanan yang berakar pada kepedulian seperti ini tidak bisa terwariskan oleh nasab, posisi sosial, atau kekayaan. Melainkan terbentuk melalui karakter yang peduli, empatik, dan penuh cinta kasih. Maka jika kita menginginkan relasi pasutri yang demikian, kita perlu melatih generasi sejak dini untuk berelasi secara adil dan setara, baik dalam keluarga maupun di ruang-ruang sosial bersama masyarakat.

Dalam moralitas mubadalah, kafa’ah yang sejati bukan soal siapa orang tuamu. Tapi apakah kamu mampu memperlakukan pasanganmu dengan penuh kasih, seperti kau ingin diperlakukan.

  1. Keadilan dalam Relasi Setara

Seseorang memilih pasangan dengan harapan kita perlakukan secara bermartabat, dihargai, dan dilindungi—dan karenanya, ia pun siap memperlakukan pasangannya dengan cara yang sama. Dalam hal ini, kafa’ah berarti kapasitas diri untuk membangun relasi yang adil dan seimbang.

Seseorang yang membawa warisan dominasi—baik dalam bentuk nasab, kelas, ras, atau lainnya—bukanlah representasi dari kafa’ah yang mubādalah. Etika Mubādalah meniscayakan karakter yang membuka ruang bagi keadilan dan keseimbangan, tanpa superioritas atau subordinasi.

Nasab tinggi atau harta melimpah, tanpa etika mubādalah, tidak menghadirkan kafa’ah yang hasanah. Bahkan dengan sesama yang setara, apalagi dengan yang dianggap lebih rendah.

  1. Loyalitas terhadap Nilai Kebaikan Keluarga

Dalam etika relasi yang mubadalah, loyalitas yang harus terbangun dan kita rawat adalah pada nilai dan visi bersama dalam berkeluarga. Dalam Islam, tentu saja, semua orang ingin masuk surga, bahagia di dunia dan akhirat, dengan beriman, berbuat baik dan berakhlak mulia. Hal ini bisa menjadi dasar nilai bagi visi bersama berumah tangga.

Dengan loyalitas seperti ini, dalam etika relasi mubadalah, kesetiaan bukan hanya tentang tidak berselingkuh. Ia adalah komitmen untuk tetap berjuang bersama ketika badai datang. Ia adalah loyalitas terhadap visi hidup yang berbasis norma Islami, tetapi detailnya dibicarakan dan disusun berdua.

Maka, pasangan yang kafa’ah, dalam perspektif fondasi moral mubadalah, adalah yang siap menjadi sahabat dan mitra untuk mewujudkan visi berkeluarga dalam suka dan duka, saling menguatkan, saling menolong, dan saling melindungi.

  1. Otoritas yang Etis

Otoritas tertinggi bagi umat Islam adalah Allah Swt yang firman-Nya turun dalam bentuk al-Qur’an, yang diterjemahkan dalam teladan Nabi Muhammad Saw, yang bisa kita temukan dalam catatan kitab-kitab Hadits. Dalam banyak tradisi, laki-laki dianggap pemimpin rumah tangga.

Karena itu, karakter kafaah yang harus kita pilih untuk mengarungi relasi yang mubadalah antara pasutri adalah mereka yang merujuk pada otoritas ini. Allah dan Rasul-nya sebagai otoritas di antara pasangan suami dan istri. Mereka yang memandang dirinya sebagai otoritas yang harus selalu dirujuk, kapanpun dan dalam keadaan apapun, oleh pasanganya, tidak akan bisa kafaah dengan siapapun.

Ketika Allah dan Rasul-Nya mengajarkan nilai-nilai rahmah, akhlak karimah, ta’awun, dan musyawarah, maka merujuk pada nilai-nilai ini adalah salah satu bentuk ketundukan pada otoritas Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan kita pada Allah Swt, dalam hal relasi pasutri, adalah dengan mengamalkan nilai-nlai etis ini. Begitupun ketundukan kita pada Nabi Muhammad Saw, dalam hal berkeluarga dan berumah tangga, adalah dengan mengamalkan teladan nilai-nilai akhlak ini.

  1. Menjaga Kesucian Relasi

Salah satu tuntutan dan teladan Nabi Muhammad Saw adalah pentingnya menjaga kesucian relasi pasutri. Hal ini, hanya mungkin, jika relasi yang terbangun adalah kesalingan dan kerjasama, di mana masing-masing, baik suami maupun istri, berkomitmen untuk menjaga diri dan menjaga relasi.

Pasutri yang hanya menuntut perempuan untuk menjaga tubuh dan perilakunya demi relasi, sementara yang laki-laki tidak kita tuntut hal yang sama, adalah sama sekali tidak akan melahirkan kesucian relasi. Model relasi seperti ini rentan penyelewengan perkawinan dan perusakan keluarga.

  1. Perkawinan yang Bebas dari Penistaan

Tidak ada orang yang menikah untuk dinista, dipukul, apalagi dizalimi. Karena itu, karakter kafaah yang harus kita perhatikan adalah sesuatu yang ada pada seseorang yang membuatnya tidak melukai pasanganya, menista, menzalimi. Dalam Islam, setiap orang adalah berhak untuk terbebas dari segala bentuk keburukan dan mudarat (dharar), serta kezaliman, baik dalam hal jiwa, harta, akal, dan agama.

Etika relasi mubadalah, karena itu, meniscayakan cara pandang pada diri dan pasangan secara bermartabat, adil, dan maslahat. Cara pandang ini menjadi modal mitigasi dari segala bentuk penistaan, kekerasan, dan kezaliman.

Bukan dari Mana, Tapi ke Mana

Kafa’ah sejati dalam etika mubadalah, yang utama, bukan tentang berasal dari keluarga siapa atau memiliki apa, tetapi tentang ke mana arah hidup ingin kita tuju bersama. Ia bukan tentang menyamakan status, tapi menyatukan tujuan dan nilai.

Jika dua jiwa saling berkomitmen secara bertanggung-jawab, saling menghormati dengan jujur, dan saling bertumbuh dalam cahaya iman dan kasih, maka mereka telah lebih dari sekufu—mereka telah saling menguatkan untuk menghadapi tantangan-tantangan kehidupan rumah tangga dan keluarga. Demikianlah makna kafa’ah yang mubadalah, dalam moralitas kesalingan dan kerjasama. []

Tags: kafaahKesalinganKesetaraanperkawinanperspektif mubadalahRelasirumah tanggaSekufu
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Merariq Kodek

Merariq Kodek: Ketika Pernikahan Anak Jadi Viral dan Dinormalisasi

28 Mei 2025
Agenda WPS

Agenda WPS dan Isu Difabel: Nyambung?

26 Mei 2025
Tantangan Difabel

Tantangan Difabel: Aku Tidak Berbeda, Hanya Hidup dengan Cara yang Berbeda

25 Mei 2025
Ulama perempuan Indonesia

Bulan Kebangkitan: Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

24 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

23 Mei 2025
Buku Disabilitas

“Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan

22 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Merariq Kodek

    Merariq Kodek: Ketika Pernikahan Anak Jadi Viral dan Dinormalisasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alarm Kekerasan Terhadap Anak Tak Lagi Bisa Diabaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • #JusticeForArgo: Melawan Privilese Dalam Menegakkan Keadilan Korban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Budaya Gosip dan Stigma atas Perempuan dalam Film Cocote Tonggo (2025)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab: Apakah Perempuan Tak Boleh Keluar Malam?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Refleksi Surah Al-Ankabut Ayat 60: Menepis Kekhawatiran Rezeki
  • Etika Sosial Perempuan dalam Masa ‘Iddah
  • Budaya Gosip dan Stigma atas Perempuan dalam Film Cocote Tonggo (2025)
  • Refleksi Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab: Apakah Perempuan Tak Boleh Keluar Malam?
  • #JusticeForArgo: Melawan Privilese Dalam Menegakkan Keadilan Korban

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID