Mubadalah.id – Dalam tulisan saya yang pertama tentang Noble Silence, saya memberikan tokoh teladan yaitu Bunda Maria atau Siti Maryam. Pada tulisan ini saya mencoba untuk memaknai keheningan dalam terang Alkitab dan teladan Yesus Kristus.
Tulisan ini berangkat dari pengalaman iman Kristiani, khususnya dalam diri Yesus Kristus, untuk menggali makna keheningan yang bisa menjadi inspirasi siapa saja. Keheningan menjadi cara Yesus untuk mendengar kehendak Sang Ilahi.
Banyak orang menggangap keheningan itu sebagai sesuatu yang menakutkan. Berangkat dari situasi tersebut, akhirnya saya mencoba untuk merefleksikan makna sebuah keheningan dalam kehidupan. Mungkin kita seringkali menganggap keheningan dan diam adalah dua hal yang sama, namun pada kenyataannya dua hal tersebut berbeda.
Diam adalah keadaan tidak adanya suara sama sekali baik sengaja maupun tidak sengaja, sementara keheningan merupakan keadaan jiwa yang sungguh merasa tenang. Dari pemahaman tersebut akhirnya saya tahu bahwa orang takut masuk ke dalam keheningan karena merasa bahwa saat hening orang akan merasa sendiri tanpa orang lain.
Allah Ditemukan dalam Keheningan
Saya akan memulainya dengan dasar alkitabiah bagaimana keheningan itu menjadi sesuatu hal yang fundamental. Dalam iman kristiani, keadaan hening atau keheningan tidak hanya terbatas pada keadaan kondisi jiwa yang tenang, tetapi lebih dari itu keheningan merupakan saat dimana seseorang mendengar suara Yang Ilahi.
Keheningan membawa seseorang bisa sampai pada keadaan bagaimana manusia mendengar suara Ilahi yang menyatakan kehendak dan mengalami kehadiran-Nya. Menarik kalau kita berkunjung ke biara para biarawan/biarawati, kita akan banyak menjumpai kata-kata yang berbunyi;
“Tuhan hanya ditemukan dalam ketenangan dan keheningan”. Hal ini tidak hanya ditulis begitu saja tanpa makna, tetapi ini bercermin dari pengalaman Nabi Elia ketika berada di atas Gunung Horeb. Nabi elia mengalami sebuah pengalaman iman mengalami kehadiran Allah dalam suasana keheningan.
12Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa. 13Segera sesudah Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya, lalu pergi ke luar dan berdiri di pintu gua itu. Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?” (Bdk. 1 Raj. 19:12-13).
Pengalaman Nabi Elia ini menegaskan bahwa kehadiran Allah bukan melalui hal-hal yang dahsyat, tetapi kehadiran Allah dalam kelembutan dan keheningan. Saya merasa bahwa ini relevan dengan keadaan dunia saat ini yang penuh dengan hiruk pikuk. Kitab 1 Raja-raja 19:11-14 memberi dasar bahwa kita dapat menemukan Allah hanya dalam keadaan yang sungguh hening dan lembut, bukan keadaan yang penuh dengan keramaian.
Keheningan Sebagai Pelayanan Yesus Kristus
Dalam Iman Kristiani, Yesus menjadi teladan sempurna dalam banyak hal salah satunya adalah teladan dalam mencapai keheningan. Keheningan yang Yesus lakukan adalah cara-Nya untuk mendengar suara dan kehendak Allah dalam karya pelayanan-Nya kepada semua orang.
Dalam pelayanan dan karya-Nya, Yesus seringkali menyingkir untuk istirahat dan berdoa. Yesus menyingkir dari banyak orang bukan karena kelelahan, tetapi karena Ia tahu bahwa arah hidup tak selalu berasal di luar, melainkan di dalam hati yang hening.
Yesus mengajarkan bahwa keheningan sangat perlu dalam pengambilan keputusan. Misalnya, dalam keheningan doa, Yesus menemukan kekuatan, kebijaksanaan, dan kejelasan arah kemana dan kepada siapa Yesus harus melayani. Yesus juga menggunakan keheningan sebelum Ia harus memilih murid (Lukas 6:12–13), menghadapi penderitaan, dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada rencana Ilahi.
Apa yang ingin saya katakan, bahwa keheningan itu tidak hanya membawa pada sebuah ketakutan, tetapi lebih dari itu membawa pada sebuah keputusan yang menyakinkan. Keheningan bukanlah cara untuk berlari dari kenyataan, tetapi merupakan keberanian untuk menghadapi kenyataan bersama Allah. Yesus sendiri pun menggunakan saat hening untuk menjalankan karya misi pelayanan kepada semua orang.
Keheningan Merupakan Kebutuhan semua orang
Dalam keheningan, orang bisa mendengar apa yang menjadi kehendak Sang Pencipta dan kehendak-Nya tersebut dengan penuh sukacita. Keheningan menjadi cara manusia untuk bersikap jujur, baik jujur kepada Tuhan, sesama, dan diri sendiri. Keheningan tidak hanya milik satu golongan saja, tetapi juga milik dan bahkan menjadi kebutuhan semua orang.
Dalam keheningan kita tidak benar-benar sendiri, tetapi melalui keheningan kita dapat membangun relasi, yakni relasi dengan Allah, relasi dengan diri sendiri, dan relasi dengan sesama. Saya mengajak kita semua untuk menyadari bahwa saat kita dalam keheningan, sebenarnya kita sedang berelasi dengan Allah Sang Pencipta.
Relasi tersebut mengajak kita untuk membangun rasa syukur kepada Allah yang telah memberi rahmat kepada kita. Relasi ini juga menjadi cara kita untuk menemukan kehendak Sang Ilahi.
Dalam keheningan kita juga berelasi dengan diri sendiri, yang mana ini mengajak kita untuk bersikap rendah hati melihat kekurangan dan kelebihan yang ada dalam diri kita sendiri.
Dalam keheningan kita juga berelasi dengan sesama yang mengajak kita untuk menumbuhkan sikap belarasa (compassion) terhadap sesama kita yang mungkin mengalami pergumulan hidup. Pada akhirnya keheningan merupakan cara atau bentuk untuk berempati dan bersolidaritas dalam relasi manusia, baik relasi dengan Allah, diri sendiri, maupun dengan sesama.
Cara Mencapai keheningan
Ada setidaknya empat langkah yang bisa saya tawarkan untuk mencapai keheningan. Langkah ini tentu bisa menjadi cara untuk mencapai keheningan bagi semua orang, dan tidak hanya untuk golongan tertentu.
Langkah pertama yaitu masuk dalam suasana doa. Mengapa ini penting? Kerena berdoa menjadi cara untuk membangun relasi kita dengan Allah. Jika kita sudah mempunyai relasi dengan Allah, maka keheningan pun akan mudah untuk dilakukan.
Langkah kedua adalah dengan menekuni untuk berlatih hening, ini akan menjadi cara untuk mudah masuk dalam keheningan karena sudah terbiasa. Langkah ketiga adalah dengan menjaga keseimbangan hidup. Hal ini akan mempengaruhi kualitas hidup kita dan akan membantu kita untuk masuk ke dalam keheningan dengan mudah.
Lalu langkah keempat adalah dengan mengulang ayat-ayat favorit yang ada di dalam kitab suci (Alkitab, Alquran, dan kitab suci masing-masing agama). Dengan mengulang ayat dalam kitab suci, kita akan semakin memahami apa yang menjadi kehendak Sang Pencipta sendiri.
Sekali lagi keheningan bukan pertama-tama soal diam dalam hal fisik tetapi menyangkut ketenangan batin seseorang. Maka, marilah kita menciptakan keheningan untuk dapat mendengar suara Ilahi.
“Diri yang otentik hanya dapat ditemukan saat kita masuk dalam keheningan” St. Agustinus dari Hippo