Mubadalah.id – “Untuk siapa kemerdekaan ini dirayakan?” Pertanyaan itu sering muncul setiap kali layar televisi menayangkan upacara bendera di Istana Merdeka, lengkap dengan pesta rakyat setelahnya. Ada yang menyambut dengan bangga, ada yang menatap sinis, bahkan ada yang menudingnya sekadar panggung pencitraan.
Kritik itu wajar, bahkan sehat. Tetapi jika kita hanya berhenti di kritik, kita kehilangan kesempatan untuk membaca sisi lain: bahwa perayaan kemerdekaan bisa menjadi ruang kesalingan, tempat pemerintah dan rakyat bertemu tanpa sekat, walau hanya sehari.
Di halaman istana, rakyat dari berbagai daerah berkumpul. Ada yang mengenakan pakaian adat, ada yang membawa anak-anak untuk sekadar melihat bendera raksasa dikibarkan, dan ada pula yang menanti hiburan musik atau jajanan gratis. Di sana, simbol negara yang sering terasa jauh, seakan turun ke bumi rakyat melalui tawa, lagu, dan suasana kebersamaan. Itulah momen yang, meski penuh kritik, tetap menjadi ruang yang dirindukan.
Perayaan sebagai Ruang Kesalingan
Kesalingan dalam Islam bukan sekadar saling membantu dalam situasi krisis, tetapi juga saling menghidupkan dalam momen sukacita. Nabi Muhammad ﷺ pernah membiarkan kaum Anshar menari dengan tombak di masjid, dan Aisyah ra. ikut menonton dari bahunya. Perayaan yang sehat bukan dosa, melainkan bagian dari menjaga jiwa dan kebahagiaan umat.
Upacara bendera dan pesta rakyat di istana bisa dibaca dalam kerangka itu. Ia menjadi ruang di mana rakyat dan pemerintah tidak hanya bertemu dalam urusan pajak, birokrasi, atau politik, tetapi juga dalam kebahagiaan kolektif. Di situ ada kesalingan: pemerintah menyediakan ruang, rakyat memberi partisipasi. Hubungan ini tidak sempurna, tetapi tetap berarti.
Dalam tradisi Islam, ada dimensi thaqafah (kebudayaan) yang tak kalah penting dari dimensi politik dan hukum. Perayaan nasional bisa menjadi jembatan budaya, di mana nilai persatuan dipertemukan dengan rasa kegembiraan bersama.
Kritik yang Perlu, Keadilan Juga Perlu
Menyoal kritik publik terhadap pesta rakyat sering berfokus pada biaya yang dianggap besar, sementara masih ada rakyat miskin yang berjuang untuk makan sehari-hari. Kritik ini sah sebagai bentuk amar ma’ruf nahi munkar dalam demokrasi. Namun kesalingan menuntut keseimbangan: di saat kita kritis, kita juga adil. Tidak semua yang pemerintah lakukan itu buruk, sebagaimana tidak semua kritik rakyat selalu benar.
Pesta rakyat memang tidak menyelesaikan persoalan struktural. Ia tidak otomatis menghapus kemiskinan atau mengurangi utang negara. Tetapi ia menghadirkan jeda emosional bagi masyarakat. Sebuah ruang di mana orang tua bisa membawa anaknya menyaksikan istana dari dekat, merasakan kebanggaan menyanyikan Indonesia Raya bersama ribuan orang.
Rasa memiliki terhadap negara tidak hanya tumbuh dari kebijakan, tetapi juga dari pengalaman emosional bersama. Inilah dimensi yang sering terlupakan ketika pesta rakyat hanya kita lihat dari sisi anggaran.
Hiburan Rakyat sebagai Hak Sosial
Hiburan sering kita anggap sekadar pelengkap, padahal ia adalah kebutuhan dasar manusia. Banyak penelitian menunjukkan, perayaan kolektif meningkatkan rasa percaya pada institusi, memperkuat solidaritas sosial, dan menurunkan stres masyarakat. Bagi sebagian rakyat kecil, pesta di istana adalah satu-satunya kesempatan melihat langsung wajah negara.
Dalam kerangka mubadalah, hiburan bukan hanya “hadiah” dari pemerintah, tetapi bagian dari kesalingan sosial. Negara memberi ruang hiburan, rakyat memberi legitimasi partisipasi.
Keduanya saling bertemu dalam perasaan yang sama: merdeka bukan hanya untuk kita perdebatkan, tetapi juga untuk kita rayakan. Bahkan jika sesekali ada kritik tentang biaya atau prioritas, kritik itu sebaiknya tidak menutup mata terhadap makna simbolis dan emosional yang
Merdeka Adalah Saling Memanusiakan
Kemerdekaan bukan hanya kita ukur dari seberapa keras kita bisa mengkritik, tetapi juga dari seberapa hangat kita bisa berbagi ruang kebersamaan. Upacara bendera dan pesta rakyat di istana mungkin belum sempurna, bahkan bisa kita perdebatkan.
Tetapi di balik itu ada pesan kesalingan: negara tidak selalu hadir sebagai penguasa, rakyat tidak selalu hadir sebagai pengkritik. Keduanya bisa hadir sebagai manusia yang sama-sama ingin merayakan kebebasan.
Maka, mari tetap kritis, tetapi juga adil. Pemerintah bukan selalu buruk, rakyat bukan selalu benar. Yang terpenting adalah bagaimana keduanya saling meneguhkan martabat. Karena pada akhirnya, merdeka adalah ketika kita bisa saling memanusiakan — di ruang perlawanan maupun di ruang perayaan. []