Mubadalah.id – Gender dan seks merupakan dua entitas yang berbeda. Jika gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial pudaya. Maka seks secara umum dipakai untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis.
Artinya, gender bukan kategori biologis yang berkaitan dengan hitungan kromosom, pola genetik, struktur genital. Melainkan merupakan konstruksi sosial dan budaya. Sementara seks merupakan kodrat Tuhan bersifat permanen.
Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang perlu dipersoalkan. Tidak mengapa bahwa karena kodratnya, perempuan harus melahirkan, menyusui, mengasuh anak, dan lain sebagainya.
Problem baru muncul tatkala perbedaan jenis kelamin tersebut melahirkan ketidakadilan perlakuan sosial antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan di posisikan sebagai makhluk yang hanya boleh bekerja dalam dunia domestik dan tidak dalam dunia publik karena dunia publik merupakan area khusus bagi laki-laki. Perempuan tidak memiliki kewenangan untuk menjadi pemimpin di tingkat keluarga maupun masyarakat.
Di sinilah letak pentingnya memisahkan seks dan gender secara proporsional. Dari sudut gender, relasi antara laki-laki dan perempuan mesti di letakkan dalam konteks kesetaraan dan keadilan.
Bertentangan dengan Spirit Islam
Sebab, ketidakadilan gender di samping bertentangan dengan spirit Islam, juga hanya akan memarginalkan dan mendehumanisasi perempuan.
Islam dengan sangat tegas telah mengatakan bahwa laki dan perempuan memiliki derajat yang sama. Yang membedakan di antara mereka hanyalah kadar ketakwaannya saja. Al-Qur’an tidak menekankan superioritas dan inferioritas atas dasar jenis kelamin.
Hukum Islam mutlak memegangi prinsip ini, sebab kesetaraan gender merupakan Unit inti dalam relasi keadilan sosial. Tanpa kesetaran gender tidak mungkin keadilan sosial dapat tercipta.
Di sinilah, persoalan konstruksi sosial hukum Islam karena hukum Islam yang kita pahami, yakini, dan amalkan sehari-hari oleh masyarakat dan budaya patriarkis di mana laki-laki selalu menjadi pusat kuasa, dan misoginis (kebencian terhadap perempuan) sering mereka anggap wajar dalam penafsiran.
Adalah benar belaka bahwa merekonstruksi hukum Islam (fiqh) dewasa ini tidak cukup sekadar melakukan tafsir ulang, tetapi harus melalui proses dekonstruksi (pembongkaran) terhadap bebatuan ideologi yang melilitnya berabad-abad. Pokok-pokok pikiran ini adalah dasar dan acuan dari kerja pembaharuan kompilasi hukum Islam (KHI). []