Mubadalah.id — Dalam sejarah panjang peradaban manusia, perempuan sering kali ditempatkan pada posisi yang dianggap lebih rendah dari laki-laki, baik dalam urusan sosial, intelektual, maupun spiritual.
Anggapan seperti ini begitu mengakar, bahkan dalam sebagian tafsir keagamaan yang memosisikan laki-laki sebagai pihak yang lebih dekat dengan Tuhan, lebih pantas menjadi pemimpin, dan lebih berhak atas kebenaran.
Padahal, secara prinsip dalam Islam, spiritualitas dan intelektualitas adalah pencapaian yang tidak Tuhan tentukan oleh jenis kelamin.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Qiraah Mubadalah menegaskan bahwa ukuran kemuliaan seseorang bukan terletak pada jenis kelaminnya, melainkan pada ketakwaanya.
Dalam pandangan beliau, laki-laki tidak lebih baik dari perempuan. Sebagaimana perempuan juga tidak bisa kita anggap lebih rendah atau buruk.
Pandangan ini sejalan dengan firman Allah dalam surah at-Tahrim ayat 10–12. Allah Swt. memberikan perumpamaan dua tipe perempuan yang menunjukkan kemandirian spiritual:
“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Luth… Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang beriman, istri Firaun… dan Maryam putri Imran…”
Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan seseorang tidak bisa diwariskan melalui relasi biologis atau pernikahan. Istri Nabi pun bisa celaka karena ketidaksetiaannya kepada Allah. Sementara perempuan seperti Asiyah (istri Firaun) dan Maryam justru mencapai derajat tertinggi di sisi-Nya. Meski hidup dalam sistem dan lingkungan yang menindas.
Dengan kata lain, Islam menegaskan bahwa perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki untuk mencapai derajat keimanan tertinggi. Bahkan kemandirian spiritual ini menjadi bukti bahwa relasi manusia dengan Tuhannya bersifat langsung bukan dari jenis kelaminnya. []