Mubadalah.id – Keterlibatan Perempuan memiliki peran penting dalam menegakkan hukum. Indonesia sebagai negara hukum dalam pengertian Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengandung arti bahwa semua orang di mata hukum setara dan berhak mendapatkan keadilan. Tidak ada yang bisa berada di atas hukum. Pada prinsipnya, equal justice for all atau keadilan yang sama untuk semua. Hukum tidak mendiskriminasi seseorang atau mendiskriminasi atas dasar jenis kelamin.
Secara tradisional, aturan hukum seringkali diturunkan dari konstruksi patriarki. Karena karakter umum pembuatan hukum seringkali tidak berdasarkan pada pengalaman perempuan. Apalagi konstruksinya juga masih bias kelompok kepentingan untuk menindas hak orang lain, termasuk perempuan.
Mengutip Thomas Jefferson, yang pernah mengatakan bahwa adalah tugas penting pemerintah untuk mencapai kesetaraan dan keadilan bagi semua warga negara yang tidak memihak. Hal ini merupakan salah satu inti dari penerapan prinsip negara hukum. Untuk itu, penting adanya keterlibatan perempuan dalam upaya menegakkan kesetaraan. Termasuk dalam isu gender, di mana menjadikan posisi perempuan dan laki-laki setara di depan hukum.
Kontribusi Perempuan dalam Penegakan Hukum
Prof Nurul Barizah menegaskan bahwa peran perempuan itu sangat signifikan dalam memberikan kontribusi dalam penegakan di negara hukum. “Karena di dunia ini perempuan itu populasinya lebih dari 50%, demikian juga di Indonesia”, ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga tersebut.
Mirisnya, hingga hari ini dunia kita masih menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap kepentingan laki-laki (subordinasi), dan peminggiran dari dunia pendidikan, politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, esensi hukum kita pandang sebagai instrumen yang dimotivasi untuk terciptanya keadilan, serta sebagai kesatuan sistem pengetahuan yang merespon kesenjangan sosial. Sehingga dengan peran perempuan itu lantas akan mewakili suara pengalaman perempuan. Tujuannya sebagai sarana dalam menciptakan sistem hukum yang bersukma keadilan hakiki bisa terwujud.
Dalam buku Nalar Kritis Muslimah, Bu Nyai Nur Rofiah mengusung keadilan hakiki dengan menyetarakan laki-laki dan perempuan. Keadilan hakiki dapat kita raih apabila laki-laki dan perempuan dapat menjadi subjek penuh dalam sistem sosial. Tidak ada lagi yang merasa tertindas dan menindas.
Lebih lanjut Bu Nur juga menegaskan bahwa perspektif keadilan hakiki penting untuk memahami kemaslahatan. Tujuannya agar bisa sampai pada kemaslahatan yang hakiki bagi perempuan dalam berbagai aspek. Terutama di bidang hukum.
Keterwakilan Perempuan masih Minim
Di samping itu, dalam tataran penegakan hukum, aparat penegak hukum mayoritas masih didominasi oleh laki-laki, seperti pada kepolisian. Meski kini mulai banyak perempuan yang memegang jabatan tinggi pada lini bidang hukum, tetap sebagian besar laki-laki. Representasi 30% perempuan di parlemen bermaksud untuk memperbaiki sistem yang diskriminatif ini.
Tetapi sampai saat ini keterwakilan perempuan belum memberi kontribusi yang signifikan dalam perubahan struktur masyarakat atau sistem hukum yang tidak biased gender. Mengingat hal ini peran perempuan dalam menyuarakan pengalaman perempuan sangat kita perlukan, agar narasi penegakan hukum seimbang demi mewujudkan keadilan hakiki.
Hal ini membutuhkan proses yang tidak semudah membalikkan telapak tangan, hukum dapat menjadi alat untuk mengubah itu. Disinilah keterlibatan perempuan secara langsung dalam perumusan hukum tersebut menjadi amat penting demi terwujudnya prinsip negara hukum bersukma keadilan hakiki.
Selain itu, memberikan kepastian hukum dan tidak ada diskriminasi gender dalam kehidupan bermasyarakat. Harapannya, aparat hukum memiliki persektif perempuan demi mendorong Indonesia menjadi lebih ramah gender. Yakni dengan menciptakan hak-hak yang terjamin secara hukum di lingkungan masyarakat yang hidup di negara Indonesia yang berlandaskan hukum ini. []