Mubadalah.id – Bayangkan hari ini, banyak anak-anak kita yang awalnya hanya ingin membeli skin karakter atau koin tambahan dalam sebuah game. Ia lalu mengklik iklan top-up instan, mengikuti tutorial di YouTube, dan beberapa menit kemudian, ia sudah terjerat utang atau pinjaman online (pinjol).
Kasus anak yang terjerat pinjol adalah realitas yang tengah Indonesia hadapi saat ini. Karena game online bukan lagi sekadar hiburan, melainkan pintu masuk beragam risiko serius—mulai dari iklan judi, pinjaman ilegal, hingga jebakan finansial yang mengancam anak-anak. Pertanyaannya: siapa yang seharusnya bertanggung jawab, dan siapa yang paling dirugikan?
Game online telah berevolusi menjadi ekosistem penuh jebakan digital. Fitur top-up, reward berbayar, hingga sistem keanggotaan VIP membuat anak-anak mudah tergiur untuk bergabung, top-up dan membeli reward tersebut.
Data Komdigi
Data dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatat, per Juli 2025, lebih dari 80.000 anak di bawah usia 10 tahun terpapar iklan judi online lewat game, sebagian diarahkan ke tautan pinjaman instan. Sementara Satgas OJK menerima lebih dari 6.348 aduan terkait pinjol ilegal, mayoritas datang dari kelompok usia muda. Artinya, risiko ini nyata dan jumlah korban tidak kecil.
Sayangnya, banyak orang tua masih menyerahkan gawai kepada anak sebagai pengasuh cadangan ketika sibuk bekerja atau lelah. Padahal, gawai bukan benda netral. Ia adalah pintu ke dunia tanpa batas, di mana iklan berbahaya bisa masuk kapan saja.
Dalam ajaran Islam, orang tua berkewajiban untuk menjaga akal (hifz al-‘aql) dan jiwa (hifz al-nafs) anak. Maka, mereka seharusnya menjadi pagar pertama dari keamanan digital. Namun seringkali pagar ini sering rapuh jika tidak diperkuat dengan literasi digital yang aman.
Tentu tidak adil bila beban kemanan digital diserahkan hanya kepada orang tuanya. Oleh karena itu, pemerintah dan perusahaan digital juga harus bertanggung jawab terhadap keamanan digital anak.
Pemerintah memang telah mengeluarkan regulasi, seperti PP No. 21 Tahun 2025 tentang Perlindungan Anak di Ruang Digital. Komdigi bahkan tengah menyiapkan sistem rating usia untuk game online. Namun pada tahap implementasinya yang masih lemah. Developer game pun belum memiliki standar etika ketat untuk menyaring iklan berbahaya. Akibatnya, anak-anak tetap menjadi korban dari sistem digital yang lebih mengutamakan profit dan engagement ketimbang keselamatan pengguna.
Literasi Digital dan Keuangan Sejak Dini
Untuk itu, solusi atas maraknya jebakan digital dalam game online tidak bisa berhenti pada penggunaan fitur parental control semata. Yang dibutuhkan adalah pendekatan holistik yang menyentuh keluarga, masyarakat, hingga negara.
Pertama, di tingkat keluarga, orang tua perlu membangun dialog terbuka dengan anak tentang uang, utang, dan konsekuensinya. Percakapan ini harus orang tua lakukan tanpa menghakimi, agar anak merasa aman dan mau bercerita.
Kedua, pendidikan finansial sederhana dapat dimulai sejak dini, misalnya melalui pemberian uang jajan yang disertai diskusi, bukan sekadar instruksi. Dengan begitu, anak belajar bahwa setiap keputusan finansial memiliki tanggung jawab.
Selain itu, prinsip-prinsip Islam juga bisa menjadi pijakan penting dalam mendidik anak menghadapi dunia digital. Nilai kesabaran, tanggung jawab, dan anak juga harus kita ajarkan bahwa tidak semua kebutuhan harus segera kita penuhi, dan ada proses yang perlu ia jalani sebelum mencapai sesuatu.
Namun, keluarga tidak bisa bekerja sendirian. Masyarakat dan negara memiliki peran yang sama pentingnya. Pemerintah harus tegas melarang iklan pinjol dan judi online dalam game, menetapkan sistem verifikasi usia yang ketat. Serta memberikan perlindungan hukum bagi anak-anak dari praktik digital yang merugikan.
Sementara itu, perusahaan penyedia game pun perlu bertanggung jawab dengan memastikan ekosistem digital yang lebih aman bagi penggunanya.
Dengan langkah-langkah ini, literasi digital dan keuangan sejak dini akan betul-betul menjadi benteng bagi anak-anak dalam menghadapi dunia digital yang penuh jebakan. []