Mubadalah.id – Mengamati perkembangan studi gender di Indonesia merupakan sesuatu hal yang menarik mengingat masyarakat Indonesia sendiri masih banyak yang kurang memahami apa itu gender dan masih menganggap gender dan seks itu sebuah hal yang sama. Padahal antara gender dan seks memiliki banyak perbedaan dimana seks dapat dikatakan sebagai jenis kelamin biologis dan gender adalah jenis kelamin sosial yang diciptakan dan direkontruksi oleh masyarakat tentang laki-laki dan perempuan.
Berbicara mengenai gender erat kaitannya dengan stereotype yang meletakkan perempuan sebagai manusia kelas kedua dan laki-laki manusia kelas pertama, artinya laki-laki dalam budaya patriarki masih dianggap sebagai superior. Di samping stereotype yang menganggap laki-laki superior banyak anggapan bahwa hal tersebut juga dipengaruhi oleh doktrin agama, salah satunya dalam Qs.Annisa ayat 34 yang artinya:
”Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.”
Padahal dengan hal tersebut bisa jadi kondisi dunia Islam yang oleh penafsir dianggap lebih menampilkan peran laki-laki hakikatnya bukan merupakan doktrin agama, melainkan sebuah ideologi atau pemikiran yang bersumber dari sejarah yang direkayasa oleh kaum misoginis dengan tujuan menguasai kaum perempuan, baik dari segi peran, tubuh, maupun hak dan lain sebaginya yang tentunya hal tersebut sangat merugikan kaum perempuan.
Islam merupakan agama rahmatan lil alamin artinya agama yang penuh rahmat dan kasih sayang Allah SWT kepada seluruh alam semesta (kepada makhluk, alam, dan seisinya). Lantas dengan penjabaran tersebut mengapa masih mengkotak-kotakan gender dan seks yang menimbulkan penomor satuan laki-laki, bukankah Islam sendiri menginginkan equality?
Melihat fenomena yang terjadi di masyarakat terkait laki-laki yang berkarier di ranah publik, banyak yang menganggap bahwa laki-laki seperti itu adalah wujud dari suami ideal, suami idaman, atau istilah lainnya husband goal. Dengan hal tersebut masyarakat masih menganggap bahwa poin keberhasilan seorang laki-laki atau suami adalah menjadi laki-laki karier dan seolah ketika laki-laki dan suami memilih berkarier di ruang publik itu menjadi patokan laki-laki sempurna.
Dengan pengidealan tersebut masyarakat jarang melihat aspek lain dari laki-laki karier, misal sejauh mana ia menghormati perempuan, sejauh mana ia memberikan ruang aman untuk perempuan, dan sejauh mana ia tidak melakukan pelecehan bahkan kekerasan terhadap perempuan.
Masyarakat terlalu fokus pada pengkotakan posisi laki-laki, misalnya ketika laki-laki memilih berkarier di ruang publik jarang dituntut atau diberikan stigma negatif, karena dengan berkarier saja sudah dianggap husband goal. Lain halnya dengan perempuan yang berkarier, ia akan dianggap sebagai perempuan yang tidak menyayangi keluarganya dan tidak taat pada ideologisasi agama kaum misoginis yang mengatakan bahwa sebaik-baik perempuan adalah yang berdiam diri di rumah.
Mengapa hanya dengan suami memilih berkarier sudah dianggap husband goal? Mengapa hal tersebut tidak diterapkan juga pada perempuan karier? Dan mengapa hanya dengan suami telah memilih menjadi laki-laki karier tidak diterapkan pula tuntutan-tuntutan yang lain. Apakah modal seorang suami dikatakan ideal itu hanya sebatas pencapaian materi dan jabatan saja? Kenapa kita melupakan aspek lain yang tidak kalah penting tentang peran menjadi suami?
Laki-laki yang ideal bukan hanya sebatas berhasil dalam dunia kerja (karier) tapi sejauh mana ia memprioritaskan keluarga, agama, dan bangsanya. Sudah memiliki prinsip adil gender kah? Sudah memanusiakan manusia lain kah? Sudah memahami bahwa baik laki-laki maupun perempuan itu setara kah?
Hal ini karena dalam menciptakan keluarga yang penuh kedamaian tidak hanya bermodalkan materi saja, akan tetapi perlu sentuhan-sentuhan dan kesensitifan yang lain, dimana hal-hal tersebut menunjang kebahagiaan, ketenteraman, dan kesejahteraan sebuah keluarga sesuai tujuan dari pernikahan itu sendiri. []