Mubadalah.id – Ada yang menarik dengan Ramadan tahun 2024 ini. Selain awal Ramadan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang berbeda, Ramadan ini kali juga bertepatan dengan Hari Raya Nyepi yang diperingati oleh seluruh umat Hindu.
Ramadan yang identik dengan semarak berjumpa, sedangkan Hari Raya Nyepi syarat akan kesunyian. Dua hal yang kontras ini sejatinya fenomena yang sangat langka, namun sudah tidak lagi jadi perdebatan. Dalam hal ini kita benar-benar sedang mempraktikkan toleransi.
Di sisi lain, kedua peristiwa ini juga menunjukkan betapa kaya dan beragamnya kehidupan keagamaan di Indonesia, di mana masyarakat dengan berbagai keyakinan dapat hidup berdampingan secara damai.
Bagi umat muslim, Ramadan adalah bulan yang penuh berkah dan keberkahan. Selama bulan ini, umat muslim menjalankan ibadah puasa dari fajar hingga matahari terbenam sebagai bentuk pengendalian diri, penghormatan kepada Tuhan, dan solidaritas dengan mereka yang kurang beruntung.
Ramadan juga merupakan waktu untuk meningkatkan ibadah, memperbaiki hubungan sosial, dan meningkatkan kesadaran spiritual.
Hari Raya Nyepi
Di sisi lain, Hari Raya Nyepi merupakan hari berpuasa dari kegiatan apapun. Termasuk tidak menggunakan listrik, tidak bepergian, dan tidak melakukan aktivitas sehari-hari lainnya. Hari Nyepi menjadi waktu untuk introspeksi, meditasi, dan membersihkan diri dari dosa-dosa.
Jika kita maknai secara dalam, baik Ramadan maupun Nyepi, keduanya mempunyai makna dan nilai yang sama, yaitu belajar menahan diri dari hawa nafsu yang bersifat keduniawian. Sehingga umat muslim dan umat Hindu melalui Ramadan dan Nyepi sama-sama belajar untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan.
Momen ini seolah me-notice kita untuk menyadari bahwa setiap yang berbeda akan menemukan titik harmoninya. Jadi, dalam hal ini toleransi bukan persoalan siapa yang harus mengalah dan siapa yang harus kita utamakan. Namun bagaimana keduanya menemukan jalan tengah dengan mendialogkan konsep ajaran agama masing-masing secara terbuka.
Ini lah yang terjadi di Bali, karena bertepatan dengan Nyepi, masyarakat Muslim melaksanakan tarawih di rumah masing-masing dan masjid terdekat dengan berjalan kaki dan menggunakan penerangan secukupnya.
Tentu saja, dari potret ini kita bisa melihat bagaimana toleransi ini sungguh nikmat. Umat muslim tetap bisa melaksanakan tarawih, begitupun umat Hindu tetap bisa melaksanakan Nyepi dengan penuh khidmat.
Ramadan Sunyi Masa Nabi
Melihat apa yang dilakukan oleh masyarakat muslim Bali di atas, aku jadi teringat dengan salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. Beliau menceritakan bahwa ada alasan mengapa Rasulullah tidak keluar menunaikan salat tarawih berjamaah, adalah kekhawatiran akan diwajibkannya salat tarawih bagi umatnya.
Oleh karena itu, dalam kasus-kasus tertentu, dalam hal ini menghormati umat Hindu, Ramadan sunyi disarankan dan perlu dipraktikkan. Karena ini juga merupakan salah satu sunah Nabi.
Maka dari itu ber-Ramadan sunyi tahun ini bagi muslim yang bersentuhan langsung dengan umat Hindu yang sedang melakukan Nyepi adalah bentuk toleransi yang indah.
Praktik semacam ini perlu untuk terus kita lakukan, jika perlu bukan hanya pada saat Ramadan saja. Namun juga dalam momen-momen tertentu yang memang itu ada kaitannya dengan Hari Raya agama yang lain. Seperti dengan umat Kristen, Konghucu, dan penghayat kepercayaan.
Sebab barangkali memang momen-momen kebersamaan ini sengaja diciptakan oleh Tuhan untuk melatih kita, supaya mampu membangun rasa empati dan kepedulian pada umat yang berbeda agama. []