Mubadalah.id – Tulisan ini merupakan catatan kecil saya ketika mengaji tentang fadhilah bulan Sya’ban kepada Ayahanda dan relevansinya terhadap kondisi saat ini. Di suatu riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah menyukai berpuasa di bulan Sya’ban, dan Aisyah bertanya, “Wahai Rasululllah, mengapa engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, Sya’ban adalah bulan ketika malaikat maut menandai nama orang yang dicabut nyawanya pada waktu yang tersisa di tahun itu, dan aku ingin namaku ditandai saat aku dalam keadaan berpuasa.” Al-Hadis. Ketika ditanya tentang keutamaan puasa, beliau menjawab, “Puasa Sya’ban sebagai pengagungan bagi bulan Ramadhan.
Dalam kitab Al-Ghunyah, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani juga mengungkapkan, bahwa Allah SWT telah memilih dari segala sesuatu ini empat hal: Jibril dari empat malaikat, Muhammad SAW dari empat Nabi, Abu Bakar dari empat Sahabat, Masjidil Haram dari empat masjid, hari Arafah dari empat hari, Lailatul Qadar dari empat malam, Makkah dari empat kota, Thursina dari empat gunung, Efrat dari empat sungai, Sya’ban dari empat bulan.
Lalu Dia menjadikannya sebagai bulan Nabi. Sebagai Nabi yang utama, bulannya pun bulan yang utama.” Dan menarik bagi saya, karena Sya’ban memiliki banyak keutamaan, diantaranya: semua pintu kebaikan terbuka; berbagai berkah turun; segala kesalahan diabaikan; berbagai kejahatan dihapuskan; dan dianjurkan memperbanyak shalawat kepada Nabi.
Karena dianggap sangat pentingnya bulan ini, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menggunakan perumpamaan: “Hari terbagi menjadi tiga: kemarin berarti ajal, hari ini berarti amal, dan esok berarti harapan. Kita tidak mengetahui apakah akan sampai pada hari-hari tersebut atau tidak, bulan Rajab berlalu dan tidak kembali, Ramadhan merupakan bulan yang ditunggu-tunggu dan tidak tahu apakah masih ada umur atau tidak, dan Sya’ban merupakan penghubung antara dua bulan, maka hendaklah memanfaatkan bulan itu benar-benar untuk berbuat ketaatan.
Keutamaan lain di bulan Sya’ban adalah tentang lailah mubarokah, pada riwayat berbeda diyakini sebagai malam diturunkannya Alquran. Lailah mubarokah bertepatan dengan malam nisf sya’ban yang memiliki arti malam kebebasan. Dalam tradisi masyarakat Muslim di Indonesia, banyak cara dan ibadah yang dilakukan pada malam nisf sya’ban ini, seperti melaksanakan salat sunnah dilanjut pembacaan surah Yasin tiga kali; atau juga pelaksanaan salat sunnah nisf sya’ban sebanyak 100 rakaat.
Malam nisfu Sya’ban dikatakan malam penuh berkah karena di dalamnya terdapat berbagai rahmat, berkah, kebaikan, maaf, dan ampunan bagi penduduk bumi. Rasulullah pernah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, malam apa ini?” Aisyah menjawab, “ Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Malam pertengahan Sya’ban, pada saat ini amal-amal dunia dan amal-amal manusia diangkat. Pada saat ini pula Allah memberi perlindungan dari api neraka.
Apakah kamu mengizinkanku pada malam ini?” “Ya.” jawab Aisyah. Rasulullah bersabda, “barangsiapa yang mengerjakan salat sunnah Nisfu Sya’ban ini, Allah akan melihatnya tujuh puluh kali, dan setiap penglihatan ditetapkan baginya pemenuhan tujuh puluh kebutuhan. Kebutuhan yang paling rendah adalah kebutuhan dalam ampunan.”
Segala bentuk ibadah yang kita lakukan, baik ibadah mahdlah ataupun ghair mahdlah merupakan salah satu dari bentuk ketakwaaan. Takwa menurut Imam Al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Sayid Syarif Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-hadad al-Husaini dalam kitab Tasawufnya yang berjudul Risalah al-Muawanah, di dalam Alquran memiliki tiga makna, antara lain;
Pertama, Khasyah dan Haibah, yakni tanda Iman. Khasyah adalah rasa takut kepada Allah yang diberikan Allah kepada para Nabi dan ulama yang sungguh-sungguh mengetahui kebesarannya. Sebagaimana firman Allah Taala dalam QS. Faathir: 28:
ومن الناس والدواب والانعام مختلف الوانه كذالك انما يخشي الله من عباده العلموءا ان الله عزيز غفور
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.“
Kita kerap membandingkan bahkan menyamakan antara khasyah dan khauf, padahal keduanya tidak bisa disamakan dan dibandingkan. Seperti contoh: Mana yang lebih kau takuti, Tuhanmu atau ganasnya serigala? Mana yang lebih kau takuti, Tuhanmu atau neraka? Mana yang lebih kau takuti, Tuhanmu atau istrimu? Mana yang lebih kau takuti, Tuhanmu atau virus Corona?
Jadi, khasyah dan khauf adalah dua hal yang berbeda secara objek dan cara mengatasinya. Khauf, adalah rasa takut makhluk terhadap makhluk, semua manusia memiliki rasa takut, bahkan Nabi sekalipun, seperti dalam QS. Yusuf ayat 13:
قال اني ليحزنني ان تدهبوا به واخاف ان يأ كله الذئب وانتم عنه غافلون
“Berkata Ya’qub: “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf Amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau Dia dimakan serigala, sedang kamu lengah dari padanya.”
Dan untuk mengatasi rasa khauf, maka kita harus menjauhi objek tersebut, sedangkan khasyah, cara mengatasinya adalah kita harus mendekat kepada-nya.
Kedua, Taat dan Ibadah adalah tanda Islam. Taat ialah:
بامثال ما به أمر واجتناب ما عنه نهي
“Melakukan segala hal yang diperintahkan oleh-Nya dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh-Nya.”
Taat itu berhubungan dengan aturan, sehingga semua fatwa dan hukum syara’ itu adalah ruang lingkup Islam yang harus ditaati dan berasaskan Maqashid Syariah, yang utama adalah maslahah yang mencakup: hifdud din, hifdun nafs, hifdul aqal, hifdul mal, hifdun nasb.
Perihal wabah dan aturan dari pemerintah dan MUI, hukumnya adalah wajib, karena termasuk dalam hifdun nafs, tidak lain untuk menjaga jiwa agar tidak menyebabkan banyak korban dan melestarikan kehidupan. Pemerintah dan MUI tidak melarang umat Islam untuk melaksanakan salat, doa bersama, dan ibadah lainnya, yang dilarang adalah berkumpulnya orang banyak pada kegiatan apa pun, karena dikhawatirkan terjadi penularan wabah antar jamaah. Ini bukan masalah usul, melainkan masalah furu’. Dan bukan masalah syariah, tapi masalah fiqhiyah. Jadi mari bersama-sama mendukung dan mentaati himbauan pemerintah.
Ketiga, Tanzih al-Qalb min al-Dzunub adalah tanda Ihsan. Membersihkan hati dari segala bentuk dosa hati adalah pembeda antara orang yang bertakwa dan orang yang kufur.
واما الذين في قلوبهم مرض فزادتهم رجسا الى رجسهم وماتوا وهم كافرون
“Dan Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, Maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam Keadaan kafir. (QS. At-Tawbah: 125)
Ringkasnya, di bulan Sya’ban ini marilah kita bersama-sama meningkatkan ketakwaan kita dari aspek Iman, Islam, dan Ihsan; Melaksanakan laku ibadah yang bermanfaat untuk duniawi dan ukhrawi, salah satunya ialah dengan berpuasa. Berpuasa yang menjadi amalan sunah di bulan Sya’ban memiliki banyak manfaat untuk kesehatan jasmani dan rohani.
Bahkan Rasulullah Saw. menjaminkan kesehatan bagi orang-orang yang berpuasa. Oleh karena itu, guna menjaga imun tubuh yang baik agar dijauhkan dari wabah yang sedang melanda, berpuasa disertai mentaati aturan pemerintah dan MUI merupakan salah satu sarana agar mendapatkan keberkahan dan keselamatan di bulan Sya’ban yang penuh kebaikan ini. []