Mubadalah.id – Pada masa Islam klasik (abad pertengahan, sekitar abad 8-15 M) hubungan antar umat beragama berjalan sangat mesra. Sejumlah ahli agama non-Islam terutama Yahudi dan Nasrani diangkat menjadi penasehat, penerjemah, direktur madrasah, menteri atau jabatan tinggi lain pada dinasti-dinasti besar Islam. Terutama pada dinasti Abbasiah.
Al-Makmun, khalifah, pengganti Harun ar-Rasyid, mengundang para sarjana Yahudi dan Nasrani untuk menerjemahkan manuskrip-manuskrip kuno, kebanyakan dari peradaban Helenisitk, Yunani, ke dalam Bahasa Arab. Salah satunya adalah Hunain bin Ishak. Ia adalah ilmuwan Nasrani yang mendapat kehormatan dari Al-Makmun untuk menerjemahkan buku-buku Plato, Aristoteles, Galen dan lain-lain.
Tokoh lain yang terkenal adalah Georgeus Bakhtisyu. Ia, selain seorang pendeta Nasrani Nestorian adalah juga seorang filosof dan dokter terkemuka. Abu Ja’far al-Manshur, khalifah kedua dinasti Abbasiyah, sangat menghormatinya dan mengangkatnya sebagai dokter istana.
Kisah Pendeta
Ada kisah yang mungkin menarik mengenai pendeta ini. Bakhtisyu mempunyai seorang istri yang sudah tua, penampilan dan wajahnya yang tidak cukup menarik (‘Ajuz la Tusytaha). Khalifah merasa kasihan padanya (Fa Asyfaqa ‘Alaihi Al-Manshur) dan ingin sekali menggembirakan hatinya.
Ia kemudian menawarkan tiga orang perempuan muda yang cantik-cantik (Hisan) untuk menjadi istrinya. Tetapi tawaran ini ditolaknya sambil dengan rendah hati mengatakan, “Maaf, Paduka, agama saya tidak membolehkan saya mengawini perempuan lain kecuali jika istri saya sudah meninggal.”
Kemudian saat ia dalam keadaan sakit parah, Khalifah menjenguknya dan memerintahkan pengawalnya untuk membawa dokter tadi ke balai kerajaan agar ia bisa beristirahat dengan tenang di sana dan mendapat perawatan maksimal dengan biaya kerajaan telah tanggung.
Tetapi sebelum pulang, Khalifah membujuknya agar masuk Islam yang akan menjaminnya masuk surga. Sang pendeta Nasrani dengan suara lirih menjawab, “Aku sudah rela mati dengan membawa serta keyakinanku ini dan tempat nenek moyangku, entah nanti masuk surga atau masuk neraka, (Radhiytu ‘an Akuna ma’a Abaa-iy fi Al-Jannah aw fi Al-Nar), aku tidak peduli, terserah Dia saja.”
Khalifah tertawa saja tetapi juga menyimpan kekaguman atas keteguhan mempertahankan keyakinannya, sekaligus juga menghargainya. Khalifah lalu memberinya biaya pengobatannya sebanyak 10 ribu dinar.
Ketika beberapa hari kemudian ia meninggal dunia, Khalifah datang lagi untuk memberikan penghormatan yang terakhir. Seraya sekali lagi memerintahkan pengawalnya untuk membawanya ke makam keluarganya sebagaimana permintaannya kepada Khalifah menjelang kematiannya. []