Mubadalah.id – Siapa yang tak kenal Imam Syafi’i? Ulama ahli fiqih ini begitu masyhur dan mazhabnya menjadi rujukan orang Islam di dunia terutama Indonesia. Namun di balik kecerdasan dan kesuksesan Imam Syafi’i dalam bidang keilmuan tidaklah lepas dari peran kedua orang tuanya. Ialah Idris bin Abbas, ayah Imam Syafi’i, seorang yang saleh, jujur dan sangat wara’ (berhati-hati dari sesuatu yang meragukan kehalalannya). Ibunya adalah Fatimah binti Ubaidillah.
Idris seorang yang wara’
Pada suatu hari, Idris berjalan menyusuri sungai untuk pergi ke suatu tempat. Karena bekal yang dia bawa telah habis. Ia beristirahat sejenak di tepi sungai sembari berdoa kepada Allah berharap akan datang sebuah makanan. Tiba-tiba Idris menemukan buah delima yang hanyut terbawa arus sungai. Karena perutnya sangat lapar, tanpa berpikir panjang Idris langsung mengambil dan memakan buah delima tersebut.
Namun, di tengah-tengah ketika ia sedang makan, tiba-tiba ia tersadar dan bergumam “Apakah buah yang aku makan ini halal? Bukankah buah delima ini bukan milikku?”
Kecemasan pun menimpa hati Idris, karena saking wara’nya Idris, ia tidak ingin memakan sesuatu yang haram atau bahkan belum jelas status kehalalannya. Akhirnya Idris bertekad untuk mencari dari mana asal buah delima itu dan siapakah pemiliknya. Ia berniat untuk meminta restu agar buah delima yang sudah ia makan menjadi halal.
Idris kemudian berjalan menyusuri arus sungai yang berlawanan. Di sepanjang jalan ia tak berhenti mengamati adakah pohon delima yang buahnya mirip dengan apa yang sudah ia makan. Perjalanan yang panjang itu membuahkan hasil, akhirnya Idris menemukan sebuah pohon delima yang berbuah lebat, ia pun mencari tahu siapa pemilik pohon tersebut.
Pemilik Pohon Delima
Sampai akhirnya Idris berhasil menemukan siapa pemilik pohon delima, ia bercerita kepada pemilik kebun bahwa ia menemukan buah delima hanyut di aliran sungai lalu memakannya. Idrispun bertanya,“Apakah buah ini halal untuk saya? Apakah anda mengikhlaskannya?”
Pemilik pohon buah delima itu menjawab “jika kamu ingin saya menghalalkan buah yang sudah kamu makan, maka ada syaratnya. Yaitu kamu harus bekerja di kebun milikku selama satu bulan dengan tanpa gaji.” Mendengar syarat yang diberikan pemilik kebun, Idris langsung menyanggupinya tanpa berpikir panjang.
Satu bulan berlalu, Idris merasa sudah memenuhi syarat dari pemilik kebun. Idris kemudian menemuinya dan berkata, “Tuan, saya telah menjalankan tugas sebegai syarat yang engkau berikan. Apakah Tuan sudah menghalalkan buah delima yang sudah saya makan”?
Melihat kegigihan dan kejujuran Idris, sang pemilik kebun kembali memberikan persyaratan kepada Idris, “Betul kamu sudah memenuhi syarat yang telah kuberikan, namun masih ada satu syarat lagi yang harus kau penuhi. Yaitu kamu harus menikahi putri saya, ia adalah seorang gadis yang buta, tuli, bisu dan lumpuh”
Idris merasa bimbang atas syarat kedua yang diberikan oleh pemilik kebun tersebut. Ia berpikir bagaimana bisa ia akan menikah dengan gadis yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Namun karena kesalehannya dan demi mendapatkan ridla halal dari pemilik kebun tersebut, Idris akhirnya menikah dengan putri sang pemilik kebun.
Menikah dengan Putri Pemilik Pohon Delima
Setelah akad nikah selesai, sang pemilik kebun mempersilahkan Idris menemui putrinya di dalam kamar. Begitu Idris masuk kamar, ia terkejut bukannya menemukan seorang gadis yang buta, tuli, bisu dan lumpuh, justru ia mendapati seorang gadis yang kecantikannya nyaris sempurna dan begitu anggun.
Melihat gadis yang tidak sesuai dengan apa yang diceritakan pemilik kebun, Idris pun kembali menemui pemilik kebun lalu bertanya, “Apakah aku salah memasuki kamar seorang gadis, sebab yang aku temui bukanlah gadis yang engkau ceritakan?” Pemilik Kebun pun menjawab, “kamu tidaklah salah kamar, gadis yang ada di dalam kamar adalah benar anakku. Maksudku mengatakan bahwa ia buta, tuli dan lumuh adalah bahwa putriku memang buta, tuli, bisu dan lumpuh dari kemaksiatan.”
Meski tidak ia sangka-sangka, berbahagialah Idris, ayah Imam Syafi’i itu, yang telah mendapati seorang istri yang salehah nan cantik jelita. Rupanya hal inilah alasan pemilik kebun untuk menikahkan Idris dengan putrinya. Yaitu karena kejujuran, kesalehan, tanggung jawab, dan sikap wara’ nya yang sangat luar biasa. Dan pernikahan ini kelak lahirlah seorang anak laki-laki yang ia beri nama Abu Abdullah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i atau Imam Syafi’i, seorang ulama besar yang pendapat-pendapatnya menjadi rujukan umat muslim dunia.
Manfaat Sikap Wara’
Dari kisah Idris, ayah Imam Syafi’i ini salah satu sikap yang sangat terjaga olehnya yaitu wara’. Wara’ menurut Burhan Al-Islam Al-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’alim memiliki makna menjauhi hal-hal yang mesti kita jauhi. Yakni yang bersifat haram dan syubhat (samar-samar). Betapa Idris telah mencontohkan sikap wara’ ini.
Yaitu dengan mencoba mencari siapa pemilik kebun buah delima yang sudah terlanjur ia makan dan untuk mendapatkan kehalalan dan keikhlasan dari pemilik kebun. Sehingga tidak sia-sialah apa yang perjuangkan Idris perjuangkan untuk mendapatkan kehalalan buah delima tersebut. Atas sikap wara’ ini Idris mendapat hadiah seorang istri yang tak kalah cantik dan begitu saleha. Bermula dari sikap wara’ ini Idris juga dikaruniai seorang putra yang kelak menjadi Imam besar.
Tersebutkan juga sikap wara’ diantaranya yaitu tidak banyak makan, tidur, banyak bicara yang tidak bermanfaat, tidak makan makanan pasar karena lebih mudah terkena najis. Dengan sikap wara’ seseorang akan terhindar dari hal yang tercela, membuat ilmu bermanfaat dan proses belajar menjadi mudah.
Demikian keterangan dari Burhan Al-Islam Al-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’allim. Semoga kita semua selalu diberikan kekuatan untuk menjaga diri dari segala sesuatu yang tidak berguna menurut agama, baik itu mubah, makruh maupun haram. Wallahu’alam. []