Mubadalah.id – Salah satu momen paling memilukan dari Squid Game season terbaru adalah ketika Player 222-Jun hee, seorang perempuan yang sedang hamil, terpaksa mengikuti permainan demi bertahan hidup. Di tengah permainan yang mengancam nyawa, ia melahirkan, merawat bayinya dalam kondisi pasca melahirkan.
Naasnya Jun hee beakhir meninggal demi menyelamatkan sang anak. Sementara itu, laki-laki yang bertanggung jawab atas semua ini-Myung gi justru tampil seolah tidak terlibat dalam penderitaan yang ia tinggalkan. Bahkan sekedar inisiatif mencoba menolong saja tidak ada.
Kisah mereka rasanya sudah tidak asing lagi di tegah relitas kehidupan kita. Kisah mereka bagai cerminan dari kenyataan yang kerap kali terjadi di dunia nyata: relasi timpang antara laki-laki dan perempuan, terutama pasca hubungan seksual atau ketika kehamilan terjadi di luar perencanaan.
Perempuan sering kali memikul seluruh beban, baik secara sosial, emosional, maupun fisik. Dan dalam banyak kasus, laki-laki dengan mudah lepas dari tanggung jawab, bahkan ketika mereka adalah pihak yang seharusnya turut andil.
Namun sayangnya, saat peristiwa tersebut sudah terjadi, alih-alih masyarakat mencari jalan tengah yang terbaik untuk mereka, kebanyakan justru memberi sterotipe buruk pada perempuan. Perempuan dalam kasus tersebut banyak menerima cacian, kebencian terkucilkan dan tanpa perlindungan.
Berbeda halnya dengan laki-laki, mereka tidak menerima kecaman seperti halnya perempuan, mereka juga dapat dengan bebas ccuci tangan. Sebab dalam pandangan jahat kebanyakan masyarakat, aib itu tertinggal dalam diri perempuan.
Representasi Relasi Timpang dalam Squid Game Season 3
Kim Jun-hee (Player 222) adalah gambaran dari begitu banyak perempuan yang terjebak dalam sistem relasi yang tidak adil. Dalam kondisi hamil besar, Jun-hee masuk ke dalam permainan yang mempertaruhkan nyawa.
Bukan karena ia menginginkannya, tapi karena utang yang menjeratnya juga karena penghianatan yang ia terima dari mantan kekasihnya, Lee Myung-gi (Player 333). Ia terpaksa mengikuti game tersebut untuk masa depan bayinya. Lebih tragisnya lagi, Myung-gi ikut bermain, namun tidak pernah benar-benar hadir untuk tanggung jawab yang ia tinggalkan.
Dalam permainan yang penuh dengan tekanan dan kekerasan, Jun-hee tetap memilih melahirkan. Ia merawat bayinya di tengah situasi penuh risiko, sambil terus mengikuti permainan yang mematikan. Keputusannya untuk tetap bertahan bukan hanya soal naluri hidup, tapi juga bentuk cinta kepada anak yang ia lahirkan.
Namun seperti banyak perempuan di dunia nyata, cinta itu akhirnya juga berarti pengorbanan. Jun-hee harus mati demi menyelamatkan sang bayi. Di sisi lain, Myung-gi tidak menghadapi konsekuensi moral yang berarti, bahkan tidak merasa perlu berkorban apapun atas nyawa yang seharusnya juga menjadi tanggung jawabnya.
Kontras antara Jun hee dan Myung gi adalah bentuk narasi klasik dalam masyarakat patriarkal: ketika relasi laki-laki dan perempuan kandas atau berjalan tidak sehat, perempuan akan menanggung dampaknya secara menyeluruh, baik secara sosial, psikologis, bahkan biologis. Laki-laki, sebaliknya, punya ruang untuk melupakan, meninggalkan, atau bahkan dipandang netral.
Serial ini, secara sadar atau tidak, menampilkan bagaimana struktur relasi yang tidak setara itu bekerja. Ia membuka pertanyaan penting: mengapa dalam banyak relasi yang rusak, hanya perempuan yang harus kuat? Dan mengapa kita, sebagai penonton atau masyarakat, sering kali tidak mempertanyakan hilangnya tanggung jawab dari pihak laki-laki?
Realitas Sosial: Perempuan dan Beban yang Besar
Apa yang dialami Jun-hee dalam Squid Game Season 3 sebenarnya bukan semata-mata fiksi yang dilebih-lebihkan demi drama. Ia adalah potret yang terlalu akrab bagi banyak perempuan di dunia nyata.
Ketika sebuah hubungan berakhir, terutama yang sampai pada hubungan seksual atau kehamilan. Perempuan sering kali menjadi pihak yang harus menanggung seluruh dampaknya dalam kasus tersebut. Mulai dari tekanan sosial, beban emosional, hingga konsekuensi fisik dan ekonomi.
Dalam banyak kasus, ketika kehamilan terjadi di luar pernikahan atau dalam relasi yang tidak setara, perempuan dipaksa untuk kuat: memikirkan masa depan anak, menghadapi stigma, bahkan terkadang memilih untuk menyembunyikan kehamilannya demi menghindari penghakiman. Sementara laki-laki yang terlibat sering kali tidak mengalami beban sosial yang sama. Mereka bisa “melanjutkan hidup”, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Di masyarakat kita, perempuan yang hamil di luar nikah sering kali menghadapi pengucilan, kehilangan akses pendidikan atau pekerjaan, dan dalam beberapa kasus, bahkan dikriminalisasi. Ironisnya, laki-laki sebagai pihak yang juga terlibat dalam kehamilan tersebut bisa tetap menikmati posisi sosialnya, tanpa terganggu reputasi atau tanggung jawab. Dalam konstruksi sosial semacam ini, tubuh perempuan menjadi medan tempur moralitas, sementara tubuh laki-laki tetap netral dan dibiarkan bebas.
Tak hanya dalam aspek sosial, bahkan dalam wacana hukum dan kebijakan, sering kali perlindungan terhadap perempuan yang rentan dalam relasi tidak setara masih sangat minim. Tidak semua perempuan memiliki keberanian, dukungan, atau pengetahuan hukum yang cukup untuk menuntut keadilan. Dan dalam situasi ini, perempuan menjadi “korban ganda”: dari relasi yang timpang dan dari sistem yang abai terhadap penderitaannya.
Kasus Jun-hee adalah simbol dari semua ini. Ia adalah representasi perempuan yang harus menghadapi realitas yang tidak adil sendirian. Perempuan yang tak hanya kehilangan pasangan, tapi juga harus memilih antara hidupnya atau nyawa anaknya. Dan pilihan itu, sebagaimana yang sering terjadi dalam kehidupan nyata, nyaris tidak pernah menjadi beban bagi laki-laki yang turut andil dalam prosesnya.
Membaca Ulang Teks Agama terhadap Relasi Laki-laki dan Perempuan
Relasi antara laki-laki dan perempuan sering kali tampil timpang, tak hanya dalam praktik sosial, tapi juga dalam narasi budaya dan bahkan dalam tafsir agama. Kisah Jun hee yang harus menghadapi kehamilan sendirian. hal tersebut menggambarkan bagaimana perempuan masih terus-menerus menjadi pihak yang menanggung beban paling banyak dalam relasi yang tidak sehat.
Cerminan dari banyak perempuan di dunia nyata, saat moral publik dan penafsiran agama yang keliru sehingga menekan mereka untuk “bertanggung jawab” sendirian. Sementara laki-laki nyaris bebas dari beban yang sama.
Islam sendiri sejatinya tidak pernah mengajarkan relasi yang timpang. Dalam Al-Qur’an dan hadis, banyak sekali nilai-nilai keadilan, kesalingan, dan penghormatan terhadap perempuan. Namun, problem muncul ketika masyarakat membaca teks-teks itu dengan kacamata patriarkal yang sudah mengakar selama berabad-abad.
KH. Husein Muhammad, salah satu pelopor tafsir keadilan gender di Indonesia, menegaskan bahwa banyak ketimpangan yang menimpa perempuan sesungguhnya bukan berasal dari ajaran Islam, melainkan dari budaya patriarki yang menyusup ke dalam penafsiran teks.
Beliau menyebut bahwa membaca Al-Qur’an harus dengan hati nurani dan perspektif keadilan. Menurut beliau, keadilan gender dalam Islam bukan sekadar opsi, tapi bagian dari prinsip utama agama.
Senada dengan itu, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menekankan bahwa relasi dalam Islam harus dibangun di atas prinsip mubadalah atau kesaliingan. Dalam bukunya berjudul “Perempuan Bukan Makhluk Domestik” beliau menceritakan tentang bagaimana seharusnya mengasuh anak adalah tugas bersama. Banyak hadis yang telah menjelaskan tentang bagaimana Rasulullah SAW menjaga Hasan dan Husein dengan sangat baik. Adalah sebuah kewajiiban bagi laki-laki maupun perempuan menyayagi dan bertanggung jawab terhadap anaknya.
Jun Hee dan Realitas Perempuan
Perempuan adalah subjek hukum dalam Islam. Bukan objek dakwah atau objek pengawasan moral semata. Perempuan memiliki nalar, pilihan yang sah. Dalam konteks ini, alih-alih menyalahkan Jun hee karena hamil di luar nikah, pendekatan gender Islam mengajak kita untuk melihat struktur ketimpangan yang membuat perempuan selalu dirugikan, termasuk dalam proses penilaian sosial yang didasarkan pada moral keagamaan yang bias gender.
Serial Squid Game season 3 ini, menjadi gambaran besar bagaimana perempuan menanggung banyak beban dari relasi yangg timpang. Memaknai ulang teks agama adalah upaya kita memanggil agama untuk kembali kepada misi dasarnya: membela yang lemah, menegakkan keadilan, dan menyuarakan kebenaran.
Membaca ulang teks agama dengan keberpihakan pada keadilan gender, seperti yang digagas oleh para ulama perempuan di KUPI, bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan upaya mengembalikan ruh kasih dan keadilan yang sering kali dikaburkan oleh tafsir yang bias. []