Mubadalah.id – Konsep upah dalam fikih Islam juga tidak melulu menekankan pada aspek manfaat semata, tapi juga aspek efisiensi waktu.
Salah satu contoh kasusnya adalah penjelasan Syeikh Zaenuddin mengenai upah untuk ibadah-ibadah yang tidak wajib niat seperti adzan dan iqamah. Beliau menulis dalam kitabnya:
“Adapun ibadah-ibadah yang tidak memerlukan niat, seperti adzan dan iqamah. Maka dianggap sah menyewa tenaga buruh untuk melakukannya, dan upah dalam hal ini sebagai imbalan kemanfaatan semacam efisiensi waktu.”
Dengan demikian konsep upah dalam Islam menjadi sebagai penghargaan kemanusiaan dan untuk memperlancar proses penyelenggaraan produksi. Hal ini harus kita pahami dengan arti luas, tidak hanya kerja pribadi yang berkutat pada tataran individual.
Mencermati pernyataan Syeikh Zaenuddin, konsep upah dalam Islam tidak hanya bersinggungan dengan tataran pahala dan akhirat, tapi unsur kehidupan dunia juga seperti efisiensi waktu, meskipun yang ia lakukan memiliki muatan pahala dan akhirat.
Selama ini hukum Islam hanya dalam persoalan-persoalan pahala dan dosa. Wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram hanya memaknainya sekadar pahala dan dosa, padahal tidak demikian.
Islam merupakan sekumpulan ajaran atau pedoman hidup yang mengaktualisasikan tata cara hidup yang adil, setara, dan mengutamakan kemaslahatan (kebaikan bersama).
Untuk itu, Islam menghendaki pemeluknya mencapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat (hasanah fi ad-dunya wa hasanah fi al-Akhirah). Kebahagiaan yang Islam cita-citakan harus berdiri tegak di atas nilai-nilai keadilan, kesetaraan, amanah, kejujuran, akuntabilitas, dan penghargaan kemanusiaan. []