Mubadalah.id – Sebulan usai kudeta militer Myanmar dilangsungkan, berita duka yang menyayat hati itu bertubi-tubi datang. Selain sudah menewaskan beberapa pendemo, yang sebagian besar adalah warga sipil, Rabu lalu seorang perempuan muda dengan semangat membara meninggal dunia setelah polisi menembakkan peluru ke arah kepalanya.
Tiadanya Kyal Sin atau Angel semakin menambah panjang daftar korban jiwa akibat perebutan kekuasaan di Myanmar, negeri beribukota Yangoon tersebut. Yang miris, Kyal Sin berusia masih belia, 19 tahun. Sebelum bergabung pada aksi protes, ia bahkan sempat pamit untuk minta restu kepada kedua orangtuanya. Dengan mengenakan kaos bernada optimisme, “everything will be okay”, ia merangsek ke garda terdepan untuk memperjuangkan demokrasi. Sayangnya, malang tak dapat ditolak. Ia justru harus kehilangan nyawa demi menyuarakan kehendak rakyat.
Kisah heroik nan tragis dari seorang Kyal Sin seakan memperlihatkan potret kelam budaya patriarkis yang merambah banyak aspek kehidupan di Myanmar. Jika ditelusuri lebih lanjut, kudeta militer yang berkelindan dengan aksi brutal polisi di sana hanyalah puncak dari carut marut politik, termasuk juga gunung es marjinalisasi perempuan di berbagai bidang. Padahal, dalam satu dekade terakhir, pergerakan perempuan di sana menunjukkan banyak kemajuan, termasuk pengajuan undang-undang perlindungan dalam kasus kekerasan.
Sayangnya, upaya progresif yang sudah mulai menemukan titik terang itu menemui ganjalan besar. Bahkan terpilihnya seorang Suu Kyi yang dianggap sebagai ibu bangsa, nyatanya belum sanggup menerjang struktur pemerintahan Myanmar yang sangat konservatif. Serangan kudeta yang dilancarkan militer justru kian menggambarkan bahwa budaya akut patriarki belum sepenuhnya ditinggalkan oleh para elitnya. Sehingga keterpilihan perempuan dengan sistem demokrasi terbuka malah dianggap sebagai ancaman berat bagi percaturan politik agen-agen pemerintahan.
Terhitung sudah bertahun-tahun lamanya, konstitusi Myanmar hanya memperbolehkan kaum laki-laki untuk menduduki jabatan tertentu. Yang parah, secara nyata perempuan tidak masuk hitungan untuk posisi menteri, representasi pemerintah pusat hingga badan yang berkaitan dengan Aparatur Sipil Negara.
Walau memiliki anggota DPR perempuan (hanya sekitar 5%), dan sempat menyelenggarakan pemilu terbuka yang memenangkan Aung San Suu Kyi, pada jabatan-jabatan strategis politik lainnya, tidak banyak mengalami perubahan. Sistem politik pemerintahan Myanmar tetap menutup diri pada kiprah dan kapasitas kaum hawa. Padahal separuh dari total populasi Myanmar adalah perempuan. Bahkan statistik menunjukkan bahwa 19 juta dari 37 juta pemilih tetap pemilu 2020 lalu juga kaum wanita.
Melalui peminggiran peran perempuan secara terstruktur, aspirasi dan hak-hak perempuan di negeri Pagoda itu acap kali menemui jalan buntu. Bahkan bagi perempuan dari kelas ekonomi bawah dan golongan minoritas, nasib mereka jauh lebih memprihatinkan. Merujuk pada laporan penyelidikan PBB tentang pelanggaran HAM di Myanmar, ditemukan bahwa sekitar 82% kasus perkosaan beramai-ramai dilakukan oleh para tentara yang seyogyanya bertugas melindungi rakyat.
Peristiwa tragis tersebut bahkan dilakukan di setidaknya 10 desa di wilayah konflik Rakhine. Bahkan, dalam banyak kasus, usai diperkosa, mereka kemudian disiksa secara fisik dan mental. Beberapa diantaranya dipaksa masuk ke dalam rumah yang telah dibakar sebelumnya.
Jatuhnya banyak korban, utamanya perempuan dan anak-anak akibat kekejaman angkatan bersenjata di wilayah konflik etnis Rohingya tak juga membuka mata para pejabat militer Burma. Dalam beberapa kali perundingan perdamaian, mereka jarang melibatkan perempuan. Hanya ada empat srikandi yang sempat diberikan jabatan negosiator, tapi itu pun tidak konsisten. Bahkan dalam proses monitoring dan struktur mediasi, suara-suara perempuan terus diabaikan.
Pandangan misoginis militer Myanmar juga terefleksi dalam aturan terkait jabatan legislatif. Di sana disebutkan bahwa untuk menduduki beberapa jabatan tertentu, seseorang perlu memiliki latarbelakang militer. Sedangkan di saat yang sama, kebijakan masuk militer bagi perempuan baru saja disahkan. Itu pun, di struktur politik atas hanya ada 2 orang perempuan dari 166 orang yang disetujui oleh kalangan militer untuk duduk di kursi parlemen.
Meski banyaknya perempuan dalam dunia politik belum tentu menghentikan kudeta Myanmar, paling tidak harus dipahami bahwa alienasi perempuan dalam segala bidang juga turut menghambat perbaikan situasi ekonomi sosial hingga politik. Absennya aspirasi perempuan turut berkontribusi dalam langgengnya dominasi militer yang bertangan besi.
Dari apa yang terjadi di Myanmar, kita belajar bahwa salah satu indikator kacau balaunya suatu negara dapat dilihat dari bagaimana peran pemerintah memberikan ruang untuk para perempuannya untuk bersuara dan memberdayakan komunitas. Dan, bila hal ini sulit diwujudkan, Myanmar mau tak mau akan kehilangan lebih banyak generasi penerus unggul, terutama dari golongan perempuan seperti Kyal Sin yang sayang seribu sayang harus meregang nyawa dengan sia-sia. []