Mubadalah.id – Jika merujuk semua ayat al-Qur’ran tentang penciptaan, di lebih dari 15 tempat, menegaskan bahwa penciptaan manusia, laki-laki maupun perempuan, dari unsur yang sama, air dan tanah, dan melalui proses reproduksi yang sama, melalui pertemuan sperma dan ovum.
Sementara ayat (QS. al-Nisa (4): 1) lebih tepat menjadi sumber bagi tafsir penciptaan perempuan dan laki-laki dari esensi yang sama.
Tafsir ini sesungguhnya lebih eksplisit dalam ayat tersebut. Dan sesuai dengan ayat-ayat lainnya tentang penciptaan yang jumlahnya banyak.
Tafsir ini juga selaras dengan metode tafsir tematik (maudhu ‘iy) dan sesuai dengan konsep munasabat al-ayat (keterkaitan antar ayat) seperti yang digagas ulama-ulama klasik terutama Imam Ibn Katsir (w. 774/1372) dan Imam al-Biqa’i (w. 885/1480).
Lebih dari itu, tafsir esensi awal kemanusiaan yang netral ini lebih dekat dengan perspektif mubadalah karena menekankan relasi keseimbangan dan keadilan.
Sehingga tidak ada satu orang atau satu jenis kelamin dianggap lebih superior dari yang lain, dan tidak ada satu jenis kelamin yang diposisikan sebagai subordinat terhadap yang lain.
Tafsir ini lebih menekankan pada fakta berpasangan antara laki-laki dan perempuan, yang tercipta dari unsur yang sama. Sehingga keduanya tidak boleh menjalankan relasi yang hegemonik dan otoriter, tetapi harus mendasarkan pada kesalingan dan kerja sama.
Makna Tulang Rusuk
Dengan basis ayat-ayat ini, maka kata “tulang rusuk” (Shahih al-Bukhari, no. 3366) lebih tepat kita maknai “seperti tulang rusuk” (Shahih al-Bukhari, no. 5239). Yaitu tentang relasi seorang laki-laki dengan istrinya.
Atau, dengan metode mubadalah, tentang seseorang yang berelasi dengan pasangannya yang kaku dan temperamen. Bisa perempuan dengan suaminya atau laki-laki dengan istrinya.
Kata “seperti tulang rusuk” adalah kiasan tentang karakter buruk seseorang yang menghalangi ikatan cinta suami dan istri.
Karakter ini bisa terjadi dari pihak perempuan dan bisa dari pihak laki-laki. Ketika hal ini terjadi, maka pihak lain diharapkan untuk tenang dan mencari solusi, bukan malah larut dalam percekcokan.
Jika istri yang berperilaku buruk, suami harus bersabar. Dan sebaliknya, jika suami berperilaku buruk, sang istri juga harus bersabar dan tenang.
Ini semua agar biduk rumah tangga tidak cepat oleng dan pecah, baik suami maupun istri, dalam perspektif mubadalah, dituntut untuk menjaga bersama-sama ikatan pernikahan ini. []