“If the main character is a girl, make sure she is married by the end. Or dead. Either way.”
– Mr. Dashwood
Film Little Women oleh Greta Gerwig akhirnya tayang juga di Indonesia tanggal 7 Februari 2020, yang tayang rilis pertama kali di New York tanggal 7 Desember 2019. Little Women diadaptasi dari buku Louisa May Alcott (1868) dengan judul yang sama. Sebagian penerbit membuat Little Women sebagai buku trilogi dan tertalogi. Triloginya menggabungkan Little Women dan Good Wives, lalu menyusul Little Men dan Jo’s Boys.
Little Women 2019 adalah film keenam yang mengadaptasi buku Little Women karya Alcott. Berbeda dengan adaptasi film Little Women 1994 dan buku Little Women, ending Little Women 2019 memiliki perbedaan. Ini kejutan bagi saya sebagai pembaca buku-buku Alcott dan sempat menonton film Little Women 1994.
Ada salah satu adegan antara Jo dan Kakaknya, Meg, yang akan menikah. Jo meminta agar Meg tak menikah dan Jo meminta Meg untuk mengejar impiannya menjadi aktor terkenal. Jo adalah tipe wanita tomboy yang hidup dengan kehendak bebas, begitu berbakat dan menghidupi keluarganya dengan menjadi penulis.
“Just because my dreams are different than yours, it doesn’t mean they’re unimportant”
– Meg March
Begi Meg, menikah dengan orang yang dicintainya adalah impiannya. Tapi bagi Jo, impiannya adalah menjadi penulis terkenal dan Jo cenderung menghindari pernikahan. Hal ini sangat menarik bagiku bagaimana dua perempuan, adik-kakak yang sama-sama dibesarkan oleh orangtua yang sama, lingkungan yang sama, dan dengan sistem patriarki yang sangat kental, memiliki pandangan berbeda tentang impian.
Meski diadaptasi tahun 1860an tapi masih sangat relevan dengan kehidupan abad ini. Masih banyak orang yang menganggap pernikahan adalah tujuan, impian atau kewajiban. Sehingga ketika ada sebagian orang yang mengejar mimpinya yang berhubungan dengan profesi, mereka dianggap tidak sukses atau tidak bahagia secara sosial.
Bahkan ketika Jo menyerahkan naskah kepada editor, Mr. Dashwood, dia juga tak bisa sepenuhnya bebas menentukan jalan cerita pada tulisannya. Bahkan pernikahan juga memiliki nilai ekonomi dalam fiksi. Jika tokoh utama adalah perempuan, penerbit menuntut cerita dengan happy ending dengan tokoh utama menikah atau meninggal.
Pada zaman itu perempuan tak memiliki kebebasan atas dirinya sendiri. Perempuan akan dianggap ada dalam masyarakat jika dia menikah dan berkeluarga. Sungguh tragis menjadi perempuan dengan hanya dua pilihan, menikah atau meninggal. Tak ada pilihan bahwa perempuan dapat menjadi apapun yang mereka inginkan, termasuk mengejar cita-citanya sekaligus menikah atau hanya mengejar impiannya yang juga bisa disebut happy ending. Padahal, menikah tidak sama dengan happy ending, bukan?
“Women. They have minds, and they have souls, as well as just hearts. And they’ve got ambition. And they’ve got talent as well as just beauty. And I’m so sick of people saying that love is just all a woman is fit for. I’m sick of it. But I’m so lonely”, kata Jo pada Marmee.
Jo adalah bentuk perlawanan perempuan atas patriarki pada zamannya. Dia membuktikan bahwa perempuan juga boleh memiliki ambisi karena perempuan juga dapat berpikir, memiliki jiwa dan hati seperti laki-laki, tidak hanya cinta dengan peran domestik yang mutlak.
Jo adalah perempuan dengan ambisi, kecerdasan, kerja keras dan tidak mengikuti standar gender yang dibangun pada saat itu, Pada zamannya, pendidikan untuk perempuan tak sebaik pendidikan untuk laki-laki. Pernikahan seolah kodrat bagi perempuan dengan pembagian peran sosial yang khas, ketika laki-laki bisa memilih ingin menjadi apa. Pernikahan bagi perempuan adalah untuk mengangkat stasus ekonomi, status sosial dan penerimaan sosial.
Beberapa tahun lalu aku berbincang dengan sesorang yang kukenal karena dia adalah suami dari pegiat sosial senior yang kukenal. Dia begitu ingin tahu tentang kehidupan personalku, termasuk tentang pacar dan rencana pernikahanku. Lalu dia bercerita bahwa kasihan pada Kakak perempuannya yang sampai sekarang, sekitar usia 40 tahun tapi belum menikah dan sibuk dengan pekerjaannya sebagai peneliti.
Baginya, sang Kakak belum sukses karena belum menikah, sebaik apapun kondisi karirnya sekarang sebagai peneliti. Aku menjadi cukup sebal mendengarkan dan memberikan opiniku padanya, karena kesuksesan dan kebahagiaan seseorang mutlak didefinisikan oleh dirinya sendiri, bukan orang lain.
Perempuan tanpa pernikahan dianggap kurang, aneh, tidak normal, tidak sepenuhnya sukses, tidak lengkap kebahagiaannya dan tidak utuh menjadi perempuan. Padahal, perempuan adalah manusia sama seperti laki-laki yang memiliki hak untuk menentukan kehidupannya sendiri. Perempuan seringkali dianggap sebagai obyek atau sosok yang lain ketika laki-laki dianggap sebagai subyek (sang absolut).
Menurut Simone de Beauvoir dalam bukunya Second Sex, ke mana pun perempuan melangkah, garis akhir selalu berwujud pada pernikahan yang artinya sama dengan mengakui dominasi laki-laki. Beban perempuan karena sistem patriarki di masa lalu, masih menghantui perempuan di masa sekarang dan mungkin di masa depan.
Jo hidup di zaman ketika wanita tidak memiliki otoritas pada harta kekayaan dan bahkan tubuhnya sendiri. Saat itu, ketika menikah harta kekayaan perempuan akan menjadi milik suaminya.
Perempuan tidak diakui haknya untuk memiliki properti bahkan tidak boleh mengajukan perceraian. Sedangkan laki-laki boleh menyimpan, membeli, dan menjual propertinya. Inggris baru mengakui hak properti wanita pada tahun 1882.
Jo adalah simbol perlawanan yang ditegaskan oleh Greta Gerwig dengan happy ending yang menempatkan Jo sebagai subyek penuh kehidupan.[]