Mubadalah.id – Seperti biasa, timeline X dan Instagram bersliweran berita yang bikin mumet dan menjengkelkan. #KaburAjaDulu semakin relate jika pejabat Indonesia logikanya seperti Ahmad Dhani. Dalam video rapat komis X DPR RI pada 5 Maret 2025, Dhani mengeluarkan usulan kontroversial terkait naturalisasi pemain sepak bola.
Menurutnya, pemain sepak bola berusia di atas 40 tahun sebaiknya dinaturalisasi dan dijodohkan dengan perempuan Indonesia. Tujuannya agar anak-anak mereka bisa menjadi atlet berbakat. Lebih jauh, ia menambahkan bahwa jika pemain tersebut beragama Islam, maka mereka bisa menikahi hingga empat perempuan sesuai ajaran agama.
Sebagai perempuan sekaligus pendidik, saya merasa terciderai. Pernyataan ini tidak hanya mengandung berbagai kekeliruan logis, tetapi juga menunjukkan bagaimana perempuan ia reduksi menjadi alat produksi anak atlet. Selain itu, logika yang Ahmad Dhani gunakan, dia telah mengabaikan kebebasan anak untuk menentukan jalannya sendiri. Selain itu memanfaatkan ajaran agama secara serampangan demi mendukung gagasannya.
Pernyataan ini juga mencerminkan seksisme struktural yang telah lama mengakar, di mana perempuan kita pandang sebagai objek yang bisa diatur demi kepentingan laki-laki atau negara.
Logika yang Keliru: Dari Determinisme Genetika hingga Perjodohan Paksa
Dalam pandangan Dhani, pernikahan bukanlah hubungan antara dua individu yang saling mencintai. Melainkan strategi biologis untuk melahirkan calon atlet sepak bola. Ini adalah bentuk dehumanisasi perempuan, di mana mereka hanya dianggap sebagai wadah untuk membiakkan pemain berbakat. Bukan sebagai manusia yang memiliki hak, keinginan, dan kebebasan untuk memilih.
Pernikahan dalam gagasan Dhani tidak lagi berlandaskan kasih sayang, komitmen, atau persetujuan kedua belah pihak. Melainkan demi kepentingan olahraga nasional. Ini serupa dengan cara pandang patriarki ekstrem yang menempatkan perempuan sebagai alat reproduksi tanpa mempertimbangkan hak-haknya sebagai individu.
Lebih dari itu, gagasan ini mencerminkan bentuk seksisme eksplisit, di mana perempuan dianggap memiliki nilai hanya dalam hubungannya dengan laki-laki dan fungsi reproduksinya. Dhani sama sekali tidak berbicara tentang bagaimana perempuan juga bisa menjadi atlet berbakat, tetapi justru memperkuat bias bahwa mereka hanya berperan sebagai ibu dari calon atlet laki-laki.
Anak Bukan Produk!
Ahmad Dhani seolah berasumsi bahwa jika seorang ayah adalah pemain sepak bola, maka anaknya pasti akan mengikuti jejak yang sama. Ini adalah bentuk genetika deterministik, anggapan bahwa faktor keturunan sepenuhnya menentukan kemampuan seseorang.
Namun, logika Dhani gagal memahami bahwa anak bukanlah produk pabrik yang bisa tercetak seragam sesuai keinginan orang tuanya. Sebagai guru, kita melihat setiap anak memiliki keunikan sendiri. Potensi mereka berkembang dari kombinasi minat, usaha, lingkungan, dan kesempatan, bukan sekadar warisan genetik.
Seorang anak yang lahir dari atlet bisa jadi lebih tertarik pada seni, musik, sains, atau bidang lain. Boleh jadi anak merasa gagal hanya karena tidak memenuhi ekspektasi orang tua. Dan orang tua juga merasa gagal karena memiliki tanggungan terhadap negara. Apakah benar negara memiliki tujuan seperti ini?
Membesarkan anak bukanlah soal membentuk mereka menjadi versi yang kita inginkan, tetapi mendampingi mereka dalam menemukan jati diri. Ibaratnya begini, saya guru dan seniman, apakah anak saya harus jadi guru atau seniman? Tentu tidak. Jika mereka ingin jadi seniman atau guru, biarkan itu mengalir dan menjadi pilihan mereka, bukan atas paksaan atau kemauan saya.
Anak yang tumbuh dengan kebebasan memilih akan lebih bahagia, percaya diri, dan mampu mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri. Sebaliknya, memaksakan jalan hidup pada anak justru bisa jadi anak lebih rentan terkena tekanan mental, kecemasan, atau bahkan perasaan gagal ketika mereka tidak bisa memenuhi harapan orang tuanya. Percaya deh, banyak kasusnya!
Sebagai orang tua, pendidik, apalagi DPR, tugas kita bukanlah mencetak anak sesuai kehendak kita. Melainkan memberi mereka ruang untuk tumbuh, mencoba, dan menemukan apa yang benar-benar mereka cintai. Masa depan mereka tidak bisa terbatasi oleh tafsir sempit yang mengabaikan kebebasan mereka untuk menjadi diri sendiri.
Seksisme dalam Kebijakan Publik: Tubuh Perempuan untuk Kepentingan Negara
Sejarah mencatat berbagai kebijakan yang menempatkan tubuh perempuan sebagai instrumen negara, seperti program keluarga berencana yang bias gender atau eksploitasi perempuan dalam politik nasionalisme. Usulan Dhani sejalan dengan pola lama di mana perempuan tidak memiliki kontrol atas tubuhnya sendiri karena dianggap memiliki fungsi khusus bagi kepentingan negara.
Dalam dunia olahraga, misalnya, negara sering kali lebih peduli pada bagaimana perempuan bisa berkontribusi dalam memproduksi atlet laki-laki daripada mendukung perempuan sebagai atlet itu sendiri. Hal ini tercermin dalam pernyataan Dhani yang mengabaikan keberadaan dan potensi atlet perempuan, seolah-olah dunia sepak bola hanya milik laki-laki.
Menyelewengkan Ajaran Islam: Salah Kaprah tentang Poligami
Dalam Islam, pernikahan adalah kontrak sosial yang membutuhkan persetujuan kedua belah pihak. Pernikahan yang sehat bukanlah yang kita paksakan demi tujuan tertentu, tetapi yang berdasarkan pada rasa hormat, kasih sayang, dan keinginan bersama untuk membangun rumah tangga.
Dalam perspektif mubadalah, perempuan bukan sekadar alat dalam pernikahan, melainkan individu yang memiliki hak untuk memilih pasangan dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Usulan Dhani jelas bertentangan dengan prinsip ini.
Dhani juga menyinggung bahwa jika pemain sepak bola yang dinaturalisasi beragama Islam, maka mereka bisa menikahi hingga empat perempuan, seolah-olah Islam mengizinkan poligami secara bebas dan tanpa syarat.
Padahal, Surah An-Nisa’ ayat 3 yang sering dijadikan dasar bagi praktik poligami justru menekankan keadilan sebagai syarat utama. Ayat tersebut berbunyi:
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (yang kamu nikahi), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja…” (QS. An-Nisa’ [4]: 3)
Banyak ulama, termasuk Amina Wadud dan Nasaruddin Umar, menafsirkan bahwa ayat ini bukan menganjurkan poligami, melainkan justru membatasi praktik tersebut dengan menekankan syarat keadilan yang hampir mustahil terpenuhi.
Menjadikan poligami sebagai alat “memproduksi” atlet bukan hanya merupakan bentuk penyalahgunaan ajaran Islam. Tetapi juga menempatkan perempuan dalam posisi subordinat yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.
Usulan Ahmad Dhani dalam rapat DPR RI patut kita tolak secara tegas! Pemikiran seperti ini tidak boleh kita biarkan tanpa kritik. Perempuan bukan objek, anak bukan alat, dan kebebasan individu adalah hak yang harus terlindungi. Tidak hanya gagal secara logika, tetapi juga berbahaya dalam konteks kesetaraan gender dan hak asasi manusia. []