Mubadalah.id – Pada mulanya adalah kata, lalu mengeja hingga tanda baca, titik dan koma. Aku menelusuri tiap jejaknya sampai terangkai menjadi cerita. Melalui bahasa tulis, aku merasa hidupku menjadi lebih hidup. Seakan satu-satunya kebahagiaan adalah dengan menulis.
Tak peduli di zaman serba AI ini, orang dengan mudah meminta bantuannya untuk memperindah kata-kata. Tetapi aku masih percaya dengan kekuatan kata-kata milik sendiri, yang lebih kuat pesannya hingga sampai ke pembaca.
Dengan kecintaanku pada proses menulis ini, aku tak menampik ajakan Mas Sarjoko yang menghubungiku, apakah bersedia menjadi mentor dalam kegiatan Menjadi Storyteller: Madrasah Creator KUPI. Sebuah program beasiswa kepenulisan biografi ulama perempuan yang kita tulis dengan gaya feature.
Sesuatu yang sudah sering aku lakukan, menulis di media sosial atau melalui laman website ini, di mana aku senang sekali bertutur tentang kegiatan sehari-hari. Aktivitas ibu bekerja yang masih suka nongkrong dengan teman-teman di organisasi maupun komunitas.
Bersama Mas Dedik Priyanto, Wanda Roxanne dan Mohammad Pandu, kami berempat menemani proses sejak menyeleksi 757 pendaftar hingga memutuskan memilih 21 peserta, yang semula direncanakan 20 orang. Soal ini biarlah menjadi rahasia tim mentor hehehe..
Sesi Belajar Bersama
Sebelum para peserta Madrasah Creator KUPI memulai proses menulis, mereka terlebih dulu mendapatkan penguatan kapasitas terkait dengan gaya penulisan feature bersama Andreas Harsono. Lalu selang satu minggu kemudian penguatan tentang perspektif KUPI. Kali ini bersama anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM-KUPI) Pera Sopariyanti.
Siapa yang tak kenal Andreas Harsono? Ia merupakan salah satu pelopor penulisan jurnalisme sastrawi yang diperoleh saat menerima beasiswa Nieman Fellowship on Journalism di Harvard University pada 1999 silam. Jurnalisme sastrawi sendiri adalah model penulisan reportase yang mengedepankan fakta tetapi tertulis dengan gaya sastra.
Ada satu kalimat yang membekas dalam ingatanku ketika sesi bersama Andreas Harsono. “Penulis yang bermutu kosa katanya di atas rata-rata.” Lalu kalimat berikutnya, “Gunakan kata-kata yang dipahami orang kebanyakan tapi jarang digunakan oleh penulis.”
Sebagai orang yang hampir setiap hari bergelut dengan dunia tulis menulis, sesi materi bersama Andreas Harsono memberikan banyak pengetahuan baru yang bisa kita praktikkan secara langsung. Jadi tidak hanya peserta saja yang belajar, kami para mentorpun mendapatkan sesuatu yang bermanfaat.
Sementara sesi materi bersama Mbak Pera, sapaan akrab kami dengan Direktur Rahima Jakarta ini, kami juga belajar kembali tentang sejarah, nilai dan paradigma KUPI. Setidaknya dengan materi ini, saat proses mentoring para mentor, terutama aku, bisa memasukkan apa yang sesuai dalam tulisan peserta.
KUPI tidak hanya bicara tentang Fatwa, tetapi ada nilai, paradigma, dan Ikrar KUPI I dan KUPI II yang punya makna berbeda. Ikrar KUPI I tentang Pengakuan terhadap ulama perempuan, sedangkan Ikrar KUPI II tentang Peneguhan Otoritas Ulama Perempuan. Dua hal berbeda yang bisa kita eksplorasi lebih mendalam.
Buku Siap Menyapa di Desember Nanti
Rasanya menyenangkan setiap kali berjumpa dengan anak-anak muda yang juga suka menulis. Sesuatu yang menurutku kian langka di era yang serba AI ini. Karena dalam waktu yang singkat tidak sampai satu minggu, para peserta kita beri kesempatan interview dengan ulama perempuan yang akan mereka tuliskan. Kemudian dalam waktu 3 hari pertemuan, 25-27 Desember 2025 di Omah Petroek Pakem Sleman Yogyakarta tulisan harus sudah jadi.
Akupun jika dalam posisi menjadi mereka, entah apakah mampu menulis sebaik itu. Tapi ya namanya juga proses harus tetap kita jalani dan menikmatinya. Aku salut sih, mereka para peserta ini tetap antusias belajar, dan menyelesaikan tulisan sesuai dengan deadline yang telah kita sepakati.
Terima kasih pada Tim Media KUPI, para mentor, panitia dan seluruh peserta Madrasah Creator KUPI atas seluruh proses yang telah dijalani selama kurang lebih satu bulan ini. Meski bak dongeng Bandung Bondowoso yang harus menyelesaikan candi dalam satu malam, tapi aku optimis sih dengan kerja-kerja kolektif seperti ini semua pasti bisa kita lalui dengan baik.
Dan pada saatnya nanti, bertepatan dengan Halaqah Kubra KUPI 12 Desember 2025 mendatang, buku ini siap menyapa para pembacanya. Semoga ke depan akan semakin banyak biografi ulama perempuan yang tertuliskan peran, kiprah dan karyanya, dan semakin banyak pula anak-anak muda yang terlibat dalam proses penulisan.
Tentu ini menjadi bagian dari jawaban atas minimnya historiografi keulamaan perempuan di Indonesia. KUPI sudah memulai, dan akan terus melaju mengiringi serta perjuangan para ulama perempuan yang bergerak di ruang-ruang senyap, sepi dan tak terlihat. Sekali lagi, tunggu karya para storyteller Madrasah Creator KUPI di Desember nanti! []









































