Mubadalah.id – Salah satu tuntunan Islam untuk isti’faf. Sebagaimana al-Qur’an ajarkan dalam (QS. An-Nur, 24: 30-31), adalah ghaddul bashar. Lalu perintah isti’faf, juga ada dalam konteks akhlak berelasi, perintah dari makna ghaddul bashar juga bukan bukan sebatas penundukan mata fisik. Lebih dari itu adalah kontrol atas cara pandang kita terhadap orang lain, terutama terhadap perempuan: agar tidak sebatas makhluk/objek seksual.
Sekalipun mata fisik tertunduk, jika cara pandang seseorang pada lawan jenis masih sebatas objek seksual maka bisa jadi ia tetap berpikir mencari peluang melakukan aktivitas seksual. Termasuk dengan paksaan dan kekerasan sekalipun. Di sinilah, mengapa perempuan yang sudah menutup aurat sekalipun masih menjadi korban kekerasan seksual dan perkosaan.
Namun, jika cara pandang kita terhadap orang lain, terutama perempuan sebagai manusia utuh, yang memiliki dimensi intelektual, sosial, bahkan spiritual, maka kita akan berelasi dengannya sebagai subjek penuh kehidupan. Yakni menghormati, mengapresiasi, bekerjasama dan saling menjaga dan menguatkan dalam kebaikan dan takwa, serta saling menghindari dari segala dosa dan kejahatan.
Dengan membiasakan diri ghaddul bashar terkait kontrol cara pandang seperti ini, seseorang akan mudah mendisiplinkan diri dalam berelasi dengan akhlak yang mahumdah. Bukan yang madzmumah, lalu menjadi laki-laki yang ‘afif dan perempuan yang ‘afifah.
Yaitu mereka yang terbebas dari kungkungan nafsu yang hegemonik, yang memaksa berhubungan intim secara haram (zina), dan atau hubungan yang penuh kekerasan, baik di luar (haram) maupun di dalam perkawinan (halal).
Tentang Anjuran Berpuasa
Anjuran berpuasa juga demikian. Sekalipun anjuran ini muncul dalam konteks seseorang yang belum mampu menikah (Sahih al-Bukhari, no. hadits: 5120). Tetapi seharusnya tidak hanya terhenti pada meninggalkan makan dan minum untuk mengurangi syahwat seksual. Karena bagi orang yang sudah dalam perkawinan, sekalipun berpuasa di siang hari, masih tetap diperbolehkan untuk berhubungan seksual di malam hari.
Artinya, berpuasa itu tidak serta merta, atau tidak secara khusus untuk mengontrol nafsu syahwat seksual. Apalagi, jika merujuk pada hadits lain (Sahih al-Bukhari, no. hadits: 1937). Di mana berpuasa juga secara spiritual ingin mendisiplinkan seseorang agar mampu mengontrol diri dari relasi buruk dengan orang lain. Baik keburukan verbal (qawl az-zur) maupun tindakan (‘amal az-zur).
Dengan makna demikian, anjuran berpuasa juga merupakan laku spiritual bagi seseorang untuk mengasah karakter diri. Tujuannya agar memiliki akhlak relasi yang mahmudah. Selain itu membuang segala akhlak relasi yang madzmumah, yakni memiliki cara pandang yang bermartabat, adil, dan maslahat, mengajak dan mewujudkan segala kebaikan-kebaikan hidup, serta menghindari dan menolak segala keburukanya.
Maka, dengan bingkai akhlak ini, semua perintah isti’faf, makna ghaddul bashar, dan berpuasa adalah relevan untuk menguatkan karakter diri dan karakter relasi. Baik sebelum menikah, sedang dalam pernikahan, maupun paska pernikahan. []