Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Fikr Cirebon, KH. Husein Muhammad menjelaskan bahwa jilbab dan hijab sesungguhnya memiliki pengertian asli yang berbeda. Keduanya disebutkan dalam ayat suci al-Qur’an dalam surah yang sama, surat al-Ahzab.
Pertama Hijab. Ia disebut dalam ayat 53 :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَآءِ حِجَابٍ . ذَلِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Jika kamu meminta sesuatu kepada mereka (para istri Nabi saw), maka mintalah dari balik “hijab”. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka.” (QS. al-Ahzab, [33] : 53).
Hijab dalam ayat 53 di atas, kata Buya Husein, menunjukkan arti penutup/tirai/sekat/pemisah/pembatas yang ada di dalam rumah Nabi Saw sebagai sarana untuk memisahkan ruang kaum laki-laki dari kaum perempuan agar mereka tidak saling memandang. Pengertian ini merujuk pada asbab nuzul, latar belakang turunnya ayat ini.
At-Thabari, mufassir besar menyebut sejumlah latar belakang turunnya ayat ini. Antara lain : Sebagian menyebut ia turun berkaitan dengan peristiwa di rumah Nabi. Para sahabat berkumpul di rumah Nabi dalam rangka menghadiri walimah Zainab bint Jahsy. Mereka bercakap-cakap di sana. Nabi tampak merasa kurang nyaman manakala memerlukan Zainab, istrinya itu.
Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa ia turun berkaitan dengan usulan Umar bin Khattab.
Kepada Nabi Saw, Umar mengatakan: “Wahai Nabi, mereka berkumpul di rumahmu dan menemui istri-istrimu. Ada orang-orang yang baik dan ada yang tidak baik (al-fajir). Sebaiknya engkau memasang “hijab”. Maka turunlah ayat ini.
Para ahli fiqh kemudian mengubah dan memperluas makna “hijab” di atas, sehingga menjadi penutup tubuh perempuan, bukan lagi tirai pemisah ruang antara laki-laki dan perempuan dan tidak hanya untuk para istri Nabi Saw saja tetapi juga perempuan-perempuan muslimah lain. Alasannya adalah agar tidak menimbulkan gangguan bernuansa seksual dan dalam kerangka “mensucikan hati”.
Jadi “hijab” atau sekat, pada dasarnya dimaksudkan sebagai alat atau cara “pencegahan” terjadinya tindakan bernuansa seksual.
Pertanyaan kita, kata Buya Husein, adalah apakah tujuan pencegahan dan “pensucian hati”, atau agar menjadi saleh, hanya bisa dilakukan dengan alat dan cara ini?.
Ini adalah cara pandang legal-formal dan menyederhanakan masalah serta kedangkalan berpikir. Kesucian hati atau kesalehan, dalam banyak sekali ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi Saw lebih ditekankan dan terletak pada cara pandang, pikiran dan hati manusia ? “Dan pakaian takwa itulah yang terbaik?”. (Rul)