Mubadalah.id – Saya hidup di lingkungan patriarki yang memuja bentuk ideal laki-laki sebagai makhluk tahan banting yang tidak diperkenankan untuk menangis. Sepuruk apapun keadaannya, standar sosial keukeuh mempertahankan bahwa bersedih, termasuk menangis, adalah hal nista yang tidak bisa ditolerir berada pada laki-laki. Standar ini mereduksi laki-laki sebagai makhluk Tuhan yang berbeda dengan makhluk lainnya dari segi kelembutan hati dan perasaan yang ia miliki.
Apa yang terjadi pada struktur sosial saya, pada gilirannya membuat laki-laki merasa terisolasi, dan kehilangan ruang untuk mengekspresikan kerentanan emosional mereka. Fenomena ini lazim kita sebut sebagai male loneliness.
Analisis tentang male lonelines banyak menunjuk pada dua faktor utama. Pertama, toxic masculinity yang mengajarkan bahwa laki-laki sejati tidak boleh mengungkapkan perasaannya.
Sejak kecil, laki-laki diajarkan untuk “kuat”, tidak menangis, dan menyembunyikan emosi mereka. Akibatnya, mereka tumbuh tanpa kemampuan yang memadai untuk memahami dan menyalurkan perasaan mereka, apalagi membangun relasi emosional yang sehat dengan orang lain.
Kedua, narasi misoginis yang menempatkan perempuan sebagai objek pemenuh kebutuhan emosional laki-laki. Sebagaimana yang Layyinah Ch ceritakan, bahwa peran perempuan seringkali diobjektifikasi sebagai alat sampingan yang hanya bertugas untuk menghibur dan memenuhi fungsi domestik. Dalam pandangan ini, perempuan terposisikan sebagai solusi dari kesepian, bukan sebagai individu yang utuh dengan kompleksitas dan kebutuhannya sendiri.
Ekspektasi terhadap Laki-laki
Dalam jangka yang panjang, tumbuh ekspektasi pada laki-laki terhadap kehadiran perempuan sebagai pemberi kebahagiaan dan rasa aman pada dirinya. Lalu, ketika ekspektasi ini tidak terpenuhi, laki-laki merasa kehilangan dan semakin tenggelam dalam kesepian.
Kedua faktor ini memang nyata dan berkontribusi signifikan terhadap fenomena male loneliness. Namun, ada dimensi yang lebih mendasar yang perlu kita beri perhatian, bahwa keterasingan laki-laki dengan diri dan ketergantungannya pada perempuan terjadi karena minimnya pemahaman yang otentik satu sama lain.
Pada realitanya, laki-laki dan perempuan hidup dalam dunia yang terpisah secara kultural. Mereka disosialisasikan dengan nilai, ekspektasi, dan bahasa emosional yang berbeda. Keduanya diberikan nilai-nilai kehidupan yang berbasiskan pada perbedaan gender.
Kultur budaya patriarki sering mengaitkan sifat lemah lembut pada perempuan, dan di waktu yang sama menafikan sifat tersebut pada diri laki-laki. Kultur tersebut mengesampingkan kompleksitas emosi manusia, bahwa laki-laki juga berhak untuk memperlihatkan sisi lemahnya saat sedang terpuruk, dan perempuan juga berhak untuk memperlihatkan sisi kemandiriannya.
Pada titik ini, konsep ta’aruf dalam Islam menawarkan solusi yang mendalam. Selama ini, ta’aruf sering kita pahami secara sempit sebagai proses perkenalan menuju pernikahan. Namun, esensi ta’aruf sebenarnya jauh lebih luas. Allah swt berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 13
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ١٣
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Ta’aruf: Proses Saling Mengenal
Jika melihat konteks ayat tersebut, ta’aruf adalah proses saling mengenal dan memahami yang berdasarkan nilai-nilai penghormatan, kejujuran, dan kesetaraan. Kata ta’aruf merupakan derivasi dari kata kerja ‘arafa yang bermakna mengetahui atau memahami.
Sementara perubahan kalimat menjadi ta’aruf mengandung makna resiprokal (al-musyarakah). Ta’aruf mengajak kita untuk melihat manusia di balik konstruksi gender, untuk memahami pengalaman hidup yang berbeda, dan menghargai keunikan setiap individu.
Ta’aruf yang sejati menolak objektifikasi dan stereotip. Dalam ta’aruf, perempuan bukan objek yang bertugas untuk mengisi kekosongan emosional laki-laki. Sebaliknya, ta’aruf adalah proses sosial untuk saling berusaha memahami dengan niat yang baik, dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan yang adil.
Ta’aruf dalam pengertian yang lebih luas, bisa menjadi budaya baru dalam merekonstruksi struktur relasi laki-laki dan perempuan. Ia tidak lagi berlaku hanya dalam konteks pernikahan, tetapi juga merambah dalam konteks persahabatan, ruang kerja, dan interaksi sosial sehari-hari. Ta’aruf memberikan landasan penting bahwa kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat dapat kita peroleh dengan budaya yang mendorong untuk saling memahami kompleksitas pada diri manusia.
Male loneliness tidak akan teratasi hanya dengan mengajak laki-laki untuk lebih terbuka ataupun mencari teman. Kesepian ini berakar pada krisis makna dalam relasi. Laki-laki kesepian karena mereka merasa tidak memiliki relasi yang otentik, di mana mereka bisa bebas menjadi diri sendiri sepenuhnya tanpa takut terhakimi.
Solusinya memerlukan transformasi budaya yang lebih luas dengan mengajarkan nilai-nilai ta’aruf dalam pengertian yang luas sebagai fondasi relasi yang sehat.
Dengan demikian, ta’aruf bukan hanya konsep kegamaan yang terbatas pada ritual pra-nikah, tetapi menjadi prinsip hidup yang memandu kita dalam membangun relasi yang lebih manusiawi. []










































