Mubadalah.id- Kemarahan masyarakat atas tindak kekerasan polisi yang di luar nalar membuat massa makin panas. Kepentingan lain juga mulai bermunculan, kondisi lapangan mulai tak menentu. Pembakaran, penjarahan dan kerusuhan lahir di banyak titik. Minggu, 31 Agustus 2025 ajakan untuk di rumah saja bermunculan. Dan Senin, 1 September 2025 Tuntutan 17+8 muncul secara masif. Apa itu?
Tuntutan 17+8
Tuntutan ini aku temui pertama kali melalui akun Jerome Polin. Si paling matematika ini cukup keras bersuara dalam kerusuhan saat ini. Jerome dengan beberapa influencer lainnya melakukan diskusi dan menggugat dengan 17+8 tuntutan ini. Melalui media sosialnya, mereka membagikan proses penyusunan tuntutan itu.
“Kita tiga jam aja selesai diskusi dan merumuskan tuntutan,” tulis Jerome malam itu melalui insta story nya. 17+8 tuntutan ini mereka beri deadline langsung dan dengan mode checklist sehingga kita sebagai pengguna media sosial tahu mana poin yang sudah pemerintah lakukan.
Tuntutan 17+8 rakyat Indonesia ini punya dua fokus deadline. Yaitu pada waktu seminggu yang jatuh pada 5 September 2025, dan 31 Agustus 2026. Tuntutan dengan deadline satu minggu berjumlah 17, dan selanjutnya tuntutan dengan deadline satu tahun berjumlah 8.
Membahas Tuntunan 17+8
Dalam kurun waktu seminggu, tuntutan ini mengatakan bahwa seluruh lembaga harus berbenah. 17 tuntutan ini berisi usut tuntas kematian saudara Affan Kurniawan, pembatalan kenaikan gaji dan fasilitas DPR, audit kekayaan anggota DPR, hentikan tindak kekerasan kepolisian, hingga menggugat janji lapangan kerja dan dialog terbuka antar buruh dan pemerintah.
Selanjutnya, dalam kurun 1 tahun mereka mengesahkan 8 poin tuntutan yaitu reformasi DPR dan kepolisian, pengawasan terhadap partai, pengesahan RUU Perampasan Aset, penguatan KPK, hingga meninjau kebijakan melalui sektor ekonomi dan ketenagakerjaan. Selain itu, mereka juga memberikan breakdown tugas masing-masing lembaga baik itu eksekutif, legislatif, hingga yudikatif.
Mengapa ada Tuntutan 17+8?
Tuntutan ini menyebar secara masih melalui media sosial. Dari tuntunan ini pula sebenarnya kita tahu bahwa ide dan gagasan dapat keluar darimanapun. Tidak perlu hotel atau bahkan resort mewah untuk merumuskan ide. Yang diperlukan tindakan nyata dan pengawasan penuh dari sebuah ide yang akan direalisasikan.
Para perumusnya juga mengajak kita sebagai masyarakat untuk menyebarkan secara masif tuntutan ini. Melakukan pengawasan penuh, memberikan kritikan secara langsung pada pemerintahan atas setiap keputusan yang tidak sejalan.
Dari tuntutan 17+8 ini, kita semua bisa belajar bahwa gerakan kolektif saat ini dapat mulai kita lakukan melalui sosial media. Mulai membagikan tuntutan ini versi kalian, mengutas kembali tuntutannya, hingga melakukan pengawasan terhadap pemerintahan jadi hal yang bisa kita lakukan melalui media sosial.
Jika dulu, pemuda berkoalisi secara langsung dan membuka diskusi publik, maka kini melalui sosial media kita dapat mulai membahas, membagikan dan mengawasi penuh kinerja pemerintah melalui media sosial. Tuntutan 17+8 juga jadi salah satu bukti bahwa masyarakat mulai tumbuh jadi lebih kritis dan peduli akan kondisi sekitarnya saat ini.
Tuntutan ini bukan hanya diskusi sepihak yang para influencer lakukan. Ini adalah hasil pengamatan mereka terkait tren, isu dan juga sikap mereka tentang persoalan yang masyarakat rasakan. Tentang ketidakpuasan, kecewa dan juga amarah yang tersalurkan dengan baik.
Ini juga bukti bahwa anarkisme yang tumbuh bukan dari masyarakat yang ingin menyuarakan kegelisahannya. Anarkisme tumbuh dari beberapa oknum yang sengaja membakar massa yang berkumpul. Mereka menyelundup dari emosi tak terkendali, dan mengawal bersama tuntutan 17+8 atau tuntutan lainnya, juga dapat jadi aksi nyata kita dalam mengawal Indonesia yang lebih baik.[]