• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Melayani Seks di Atas Punggung Unta

Jika teks hadits versi pertama dipahami sebagai pentingnya memenuhi kebutuhan seks suami, oleh istri, ia juga harus dipahami sebagai pentingnya memenuhi kebutuhan seks istri, oleh suami. Tentu saja, perlu diperhatikan perbedaan intensitas, waktu, model, gaya, dan cara pemenuhan seks yang bisa berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
26/11/2020
in Hukum Syariat, Keluarga
0
melayani seks di atas punggung unta

melayani seks di atas punggung unta

2.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id-Lanjutan teks hadits mengenai sujud istri pada suami (dan sujud suami pada istri secara mubadalah) ada dua versi riwayat. Pertama teks yang meminta perempuan taat pada suami, sekalipun harus melayani seks di atas punggung unta. Kedua, teks yang meminta perempuan taat pada suaminya yang memerintahkannya memanggul dan mengangkut batu dari satu gunung ke gunung yang lain. Kedua teks ini, jika ingin diterima, bisa dimaknai dengan perspektif mubadalah.

Kedua versi ini, tidak diriwayatkan dalam kitab Sahih al-Bukhari maupun Sahih Muslim. Tetapi, banyak ulama hadits yang menerima teks hadits versi pertama, sementara hampir semua ulama hadits tidak menerima versi kedua. Dengan kata lain, versi pertama dianggap valid (sahih), sementara versi kedua dianggap lemah (dha’if). Penerimaan dan penolakan ini didasarkan pada kajian rantai sanad hadits (lihat penelusuran sanad kedua versi ini dalam website dorar.net).

Sekali lagi, ditegaskan, bahwa jika dengan metodologi tertentu, atau pengetahuan tertentu, kedua versi teks hadits di atas, tidak diterima, maka Qira’ah Mubadalah tidak diperlukan lagi untuk berlanjut pada pemaknaan. Qira’ah Mubadalah mensyaratkan penerimaan pada suatu teks, kemudian mencari maknanya yang selaras dengan visi Islam rahmatan lil ‘alamin dan misi akhlak mulia. Makna yang digali ini harus berlaku bagi kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan. Dalam konteks relasi marital ini, suami dan istri.

Langkah Interpretasi Mubadalah

Dalam proses awal interpretasi Mubadalah, pemaknaan dua versi teks hadits ini harus didasarkan pada pilar-pilar relasi pernikahan yang sudah ditegaskan al-Qur’an. Terutama pilar kemitraan dan kesalingan antara suami dan istri, yang diibaratkan sebagai pakaian satu sama lain (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn, QS. Al-Baqarah, 2: 187).

Baca Juga:

KB dalam Pandangan Islam

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

Juga, pilar mu’asyarah bil ma’ruf, atau saling berbuat baik antara suami dan istri (QS. An-Nisa, 4: 19). Kedua pilar ini, pun ada tiga pilar yang lain, meniscayakan kesalingan dan kerjasama dua pihak, suami dan istri, dalam segala hal terkait pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam kehidupan berumah tangga.

Jika teks hadits versi pertama, tentang melayani seks di atas punggung unta, dipahami sebagai pentingnya memenuhi kebutuhan seks suami, oleh istri, ia juga harus dipahami sebagai pentingnya memenuhi kebutuhan seks istri, oleh suami. Tentu saja, perlu diperhatikan perbedaan intensitas, waktu, model, gaya, dan cara pemenuhan seks yang bisa berbeda antara laki-laki dan perempuan. Bisa jadi, akibat tuntutan hormon yang berbeda, jika yang banyak dibutuhkan laki-laki adalah seks, bisa jadi yang banyak dibutuhkan istri adalah cinta, kasih sayang, dan perhatian.

Secara anatomis biologis, hormon yang dominan pada laki-laki adalah testosteron yang membuatnya mudah terangsang secara visual dan terdorong untuk melakukan hubungan seks. Sementara hormon dominan pada perempuan bukan testoteron, melainkan estrogen yang membuat seksnya terangsang justru oleh ingatan cinta, kasih sayang dan perhatian.

Pada saat tuntutan hormon tersebut memang berbeda, laki-laki perlu memenuhi kebutuhan cinta dan kasih sayang kepada istrinya, sebagaimana perempuan perlu memenuhi kebutuhan seks suaminya. Demikianlah semangat teks hadits tersebut dalam perspektif Qira’ah Mubadalah.

Klausul melayani seks di atas punggung unta adalah kiasan mengenai pentingnya memperhatikan dan memenuhi kebutuah seks atau cinta tersebut, yang juga berlaku resiprokal. Jika “di atas punggun unta” adalah imajinasi laki-laki tertentu, maka kita juga perlu memberi kesempatan pada imajinasi perempuan tentang seks yang diinginkannya, atau tempat dan cara ekspresi cinta dan kasih sayang yang diharapkannya.

Tentu saja, dengan basis kedua pilar relasi pernikahan tersebut di atas, yang dianggap penting tidak hanya perilaku kedua belah pihak untuk saling memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing, dalam hal seks, cinta, atau kebutuhan yang lain.

Tetapi, juga penting untuk saling memperhatikan kondisi yang dialami pasangan masing-masing yang diminta memenuhi kebutuhan. Apakah sedang sakit, lelah, bad mood, atau sedang mengerjakan sesuatu yang lebih penting. Karena itu, komunikasi yang baik dan saling pengertian sama lain, juga menjadi niscaya dalam hubungan suami istri.

Yang jelas, teks hadits seks di atas punggung unta ini sama sekali tidak bisa dijadikan landasan narasi bahwa kebutuhan suami lebih penting untuk dilayani dibanding kebutuhan istri. Karena relasi suami istri, dalam Islam, adalah kesalingan dan kerjasama. Artainya, satu sama lain, saling memenuhi kebutuhan pasangannya, sesuai kemampuan, kesempatan, dan kesepakatan.

Teks hadits layanan seks di atas punggung unta ini, oleh istri pada suami, juga sama sekali tidak bisa menjadi landasan narasi bahwa suami boleh memaksa hubungan seks dengan istrinya, dalam kondisi apapun, dan istri wajib memenuhinya. Tidak. Narasi ini bertentangan dengan visi besar Islam yang rahmatan lil alamin, dan tidak selaras dengan misi akhlak mulia. Yang pasti, narasi ini tidak sejalan dengan prinsip dan pilar relasi pernikahan yang ditegaskan al-Qur’an dan dipraktikkan Nabi Muhammad Saw.

Prinsip dan pilar yang meniscayakan pernikahan sebagai kemitraan, kesalingan, dan kerjasama antara suami dan istri. Dimana keduanya dituntut agar sama-sama sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bahkan lebih dari itu, hubungan seks sendiri, dalam al-Qur’an (QS. Al-Baqarah, 2: 187) digambarkan sebagai pakaian, yang harus dilakukan secara hangat dan tentu saja menyenangkan, oleh laki-laki kepada istrinya, dan oleh perempuan kepada suaminya. Pemaksaan, tentu saja, melanggar semua prinsip dan pilar ini.

Metafor Komitmen

Adapun versi kedua dari teks hadits, mengenai istri yang tidak menolak ketika diminta suaminya mengangkat batu dari satu gunung ke gunung yang lain, jika teks ini diterima, maka maknanya adalah soal komitmen maksimal yang diberikan seorang perempuan kepada suaminya. Hal yang sama juga komitmen maksimal itu harus diberikan seorang laki-laki kepada istrinya.

Artinya, kedua belah pihak, secara mubadalah, harus bersedia memberikan komitmen maksimal untuk menjadi pasangan yang kuat, kokoh, dan saling membantu satu sama lain. Karena berumah tangga seringkali berhadapan dengan tanggung-jawab yang besar dan berat. Dalam perspektif mubadalah, suami dan istri, keduanya, harus selalu siap untuk “ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul”.

“Mengangkat batu dari satu gunung ke gunung yang lain” adalah metafora dari kondisi paling sulit yang menuntut komitmen maksimal tersebut. Misalnya, ketika sang suami sedang sakit keras dan tidak berdaya. Lalu, hanya dengan cara mengangkut batu tersebut, dilakukan istrinya untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan suami dan keluarganya. Begitupun, yang dilakukan suami, ketika istri dan keluarganya menuntutnya untuk melakukan hal yang sama, akan dilakukannya demi memenuhi kebutuhan keluarganya dan melindungi mereka.

Sebagaimana versi pertama tentang layanan seks di atas punggun unta, versi keduapun tentang istri memanggul batu, sama sekali tidak bisa dijadikan landasan narasi keagamaan yang meletakan istri lebih rendah dari suami. Tidak juga untuk memposisikannya sebagai pelayan suami yang harus bersedia melakukan apa saja secara mutlak. Tidak. Sebagaimana diketahui bersama, semangat al-Qur’an (QS. Ar-Rum, 30: 21) menegaskan bahwa seorang perempuan juga memasuki jenjang pernikahan untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan (sakinah), serta perlakuan cinta (mawaddah) dan kasih (rahmah) dari suaminya.

Semangat Qur’an ini menegasikan seluruh narasi yang hanya membebani perempuan dengan berbagai tanggung-jawab ketaatan untuk melayani suaminya, tanpa penegasan tanggung jawab laki-laki untuk melayani istrinya. Yang benar, dalam Islam, suami dan istri dianjurkan untuk saling melayani satu sama lain, saling menolong, dan saling menguatkan, untuk kebaikan dan kebahagiaan bersama. Wallahu a’lam. []

Tags: Fiqih KeluargaislamKesalinganQira'ah MubadalahRelasi Suami dan Istri
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Perempuan sosial

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

10 Mei 2025
Mengirim Anak ke Barak Militer

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

10 Mei 2025
Menjaga Kehamilan

Menguatkan Peran Suami dalam Menjaga Kesehatan Kehamilan Istri

8 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!
  • KB dalam Pandangan Islam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version