Mubadalah.id – Di penghujung tahun 1999, Gus Dur berangkat ke Papua. Tujuannya, sebagaimana kata Gus Dur, “Saya sengaja datang jauh-jauh dari Jakarta kemari, ya sebenarnya tidak lain hanya ingin melihat matahari terbit di Papua.” Namun, kita tahu bahwa kunjungannya tidak sesederhana itu.
Perjalanan Gus Dur ke Papua lebih dari untuk melihat matahari awal tahun 2000. Itu menggambarkan pendekatan berbeda dalam penyelesaian konflik; dari yang sebelumnya amat militeristik menjadi lebih humanis. Kunjungan yang merupakan wujud kepedulian atas ketidakadilan yang terjadi selama bertahun-tahun.
Ia mungkin tidak melihat dengan jelas matahari terbit di Papua. Kita tahu keterbatasan fisiknya. Namun, ia bisa merasakan hangatnya matahari di sana. Dengan jelas, hatinya yang peka, yang penuh rasa kemanusiaan, merasakan hangatnya harapan rakyat Papua akan kemerdekaan yang adil buat mereka.
Gus Dur dan Kembalinya Identitas Papua
Pada momen kunjungan ini, Gus Dur mengumumkan, “Bahwa Irian Jaya hendaknya menjadi Papua.” Menurutnya, kata irian merupakan manipulasi, atau penyesuaian, kata dari bahasa Arab yang berarti telanjang. Dalam kamus Arab, kita dapat menemukan kata ‘uryanun yang berarti yang telanjang atau yang terbuka.
Dugaan Gus Dur mungkin karena dulu para pengembara Arab, yang datang di Papua, melihat orang-orang di sini hanya memakai Koteka. Sehingga, dikenanglah pulau ini sebagai tempat tinggal irian.
Oleh pusat, kata ini digunakan, entah dengan mengetahui maknanya atau tidak, untuk menyebut identitas rakyat Papua. Memang begitu kebiasaan rezim sebelumnya, bahkan juga sesudahnya, memutuskan suatu kebijakan tanpa memperhitungkan suara rakyat yang menempati ruang kebijakan.
Bagi Gus Dur, penggunaan kata irian, selain tidak mencerminkan kepantasan, juga tidak mewakili identitas masyarakat di pulau ini. Yang masyarakat tahu, mereka adalah orang Papua. Oleh karena itu, ia ingin identitas Papua kembali kepada mereka. Bukan lagi Irian Jaya tapi Papua.
Bagi rakyat Papua, ini momen haru. Seorang presiden mau memahami betul-betul identitas mereka. Gus Dur hadir bagaikan kehangatan matahari pagi. Ia mau memahami dan mewakili suara-suara rakyat Papua. Mereka bukan orang-orang irian yang berjaya. Mereka orang Papua yang merupakan bagian dari rakyat Indonesia.
Pendekatan Gus Dur, oleh Ahmad Suaedy dalam Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001, disebut sebagai visi kewarganegaraan bineka. Terambil dari kata bineka tunggal ika. Pengakuan dan penghormatan atas keragaman masyarakat, merupakan dua indikasi penting dalam ukuran kewarganegaraan bineka.
Dan, Gus Dur telah melakukan itu. Ia tidak hanya memahami, tapi juga mengakui dan menghormati identitas rakyat Papua. Pendekatannya berbeda dari rezim sebelumnya, yang menuntut kesetiaan dengan pemaksaan dan kekerasan. Gus Dur tidak begitu. Ia lebih mengupayakan tegaknya keadilan bagi rakyat Papua. Sebab ia yakin, ketika negara betul-betul hadir untuk rakyat, tidak perlu kekerasan, kesetiaan terhadap negara akan tumbuh.
Dialog dengan Aktivis Papua Merdeka
Terhadap aktivis Papua Merdeka, alih-alih mengedepankan pendekatan kekerasan, ia justru membuka ruang dialog dengan mereka. Kata Gus Dur, “Setelah mendengarkan tadi, ungkapan perasaan dari kawan-kawan Papua Merdeka yang menginginkan negara sendiri. Sebagai perasaan, sebagai cetusan ungkapan, silahkan tidak ada masalah, saya terima dengan baik.”
Bayangkan, kalian menyatakan ingin merdeka dan mendirikan negara di hadapan presiden. Jika penanganan separatisme dilakukan dengan pendekatan kekerasan dan menutup dialog, seperti rezim-rezim pada umumnya, kita sudah bisa menebak apa yang bakal terjadi.
Namun, Gus Dur menempuh jalan yang berbeda. Ia tidak menutup pintu dialog dengan rakyat Papua. Bahkan, dengan aktivis Papua Merdeka, ia tidak serta merta mengatai mereka makar. Ia menganggap ungkapan merdeka sebagai opini dari orang-orang sebab negara gagal hadir untuk mereka.
Gus Dur jelas tidak setuju dengan gagasan Papua Merdeka dalam arti mendirikan negara sendiri. Kata Gus Dur, “Saya juga punya kewajiban konstitusional lain, yaitu mempertahankan keutuhan wilayah yang saya emban saat ini.” Oleh karena itu, ia tidak setuju dengan tuntutan merdeka dalam makna mendirikan negara. Rakyat dapat berbicara sebanyak-banyaknya. Sebagai presiden, ia membuka dialog. Tapi, kata Gus Dur, “Jangan sampai melakukan tindakan menciptakan negara di dalam negara.”
Meski tidak setuju dengan gerakan Papua Merdeka, namun pada level ekspresi menyatakan pendapat Gus Dur tidak melarang mereka. Bahkan, sebagaimana Suaedy, Gus Dur menyantuninya sebagai bagian dari dialog. Sebagai dialog, situasi bisa saja tegang, namun ketegangan itu bukan untuk memunculkan kekerasan melainkan negosiasi-negosiasi. Melalui keberhasilan membingkai dialog, Gus Dur dapat mengendalikan bahkan meniadakan kekerasan di tengah tuntutan Papua Merdeka.
Dalam dialog, ia tegas menyatakan tidak setuju dengan negara di dalam negara, dan memberi solusi kompromi berupa otonomi khusus bagi Papua. Implementasinya melalui UU Otonomi Khusus Papua No. 21 tahun 2001. Ya, meski harus kita akui adanya otsus juga belum sepenuhnya menyelesaikan isu ketidakadilan di Papua.
Dan, suara-suara Papua Merdeka juga masih nyaring terdengar hingga saat ini. Namun, itu bukan berarti upayanya gagal. Sebagai presiden, Gus Dur dalam hal ini telah berhasil meneladankan bahwa penanganan konflik tanpa kekerasan dari negara itu sesuatu yang mungkin.
Memandang Rakyat Papua dengan Setara
Selain itu, dalam kasus Papua, ia juga telah menunjukkan etika relasi antara pusat dan daerah, relasi antara pemimpin dan rakyat, yang berdasarkan pada kesetaraan, bukan kesewenangan. Tidak seperti rezim pada umumnya yang hanya mau didengarkan, yang berpikir proyek mereka lebih utama daripada rakyat kecil. Ia justru datang di tengah rakyat Papua untuk mendengarkan. Kata Gus Dur, “Saya ingin mendengarkan sendiri dari yang bersangkutan.”
Jadi Gus Dur datang tidak hanya untuk didengarkan tapi juga mendengarkan. Dalam proses mendengarkan dan didengarkan, Gus Dur memosisikan diri secara setara dengan rakyat Papua. Bahkan, sebagaimana Suaedy, dengan para aktivis OPM pun demikian, ia membuka dialog. Bukan dialog sewenang antara si rezim dan si rakyat. Melainkan, dialog setara antara seorang warga yang mendapat mandat sebagai presiden dan warga yang sedang menuntut keadilan.
Di sini, Gus Dur menunjukkan ekspresi kesetaraan antara pemerintah dan rakyat. Ia mengajarkan nilai kesetaraan dalam bernegara. Kondisi ini termasuk yang membedakannya dengan rezim-rezim yang lain, yang katanya ingin menegakkan keadilan di negeri ini, namun suka sewenang sendiri dalam mengambil kebijakan.
Gus Dur merangkul rakyat Papua, bukan dengan sekapan penguasa, bukan pula dengan kesewenangan kuasa, namun dengan dekapan kemanusiaan. Dan, pendekatannya berhasil menggugah rakyat Papua. Sehingga, mereka mengenangnya, sebagaimana judul buku Titus Pekei, sebagai Gus Dur Guru Papua. []