Mubadalah.id – Bulan Maret tahun ini cukup istemewa karena terdapat dua hari yang cukup spesial, yaitu hari perempuan sedunia dan Isra’ mi’raj. Keduanya datang beriringan di bulan yang sama dan minggu yang sama. Momentum ini menjadi bahan refleksi yang penting bagi umat beragama, khususnya umat Islam.
Sebagai salah satu hari besar Islam, Isra’ mi’raj selalu diperingati oleh umat Islam, khususnya di Indonesia. Tetapi dari sekian banyak peringatan yang digelar, hampir tidak kita dapatkan cerita yang menyinggung tentang keterlibatan perempuan, kecuali cerita tentang banyaknya perempuan yang menjadi penghuni neraka. Salah satu hadis itu kemudian selalu didengung-dengungkan di majlis-majlis taklim, pesantren, atau madrasah untuk mengingatkan kepada mereka agar berhati-hati menjadi perempuan.
Tetapi rantai cerita yang disebarkan di majllis-majjlis ilmiah itu seringkali berbalik menjadi media yang mendiskreditkan perempuan. Hadis tentang banyaknya perempuan di dalam neraka itu dijadikan dasar untuk menilai bahwa perempuan adalah manusia yang tidak sesempurna dan tidak sesuci lelaki. Untuk meyakinkan hal itu, tidak jarang yang kemudian menjadikan perbedaan tubuh, alat-alat reproduksi perempuan dan fungsinya sebagai sebabnya.
Misalnya, anggapan bahwa menstruasilah yang menyebabkan perempuan tak mampu menjadi manusia sempurna seperti lelaki. Atau kecantikannya yang dianggap sebagai sumber fitnah dan zina yang mengakibatkan mereka menjadi penghuni neraka. Ada pula yang menyimpulkan karena akibat pembangkangannya kepada suamilah yang menyebabkan perempuan menjadi penghuni neraka.
Kisah-kisah semacam ini bukan saja membentuk kesadaran laki-laki bahwa perempuan adalah manusia kelas dua di bawah laki-laki, tetapi juga membentuk kesadaran perempuan bahwa dirinya adalah manusia yang tidak sebaik laki-laki. Akibatnya, perempuan mengalami inferioritas ketika berhadapan dengan laki-laki. Sebaliknya, laki-laki juga merasa superior di hadapan perempuan. Hingga menjadikan mereka kesulitan untuk mengakui kemampuan perempuan atau mengakui keterlibatan perempuan dalam peristiwa-peristiwa suci agama.
Hilangnya kisah perempuan dalam peringatan hari besar agama pada dasarnya tidak hanya terjadi pada peristiwa isra’ mi’raj. Melainkan terjadi hampir di setiap peristiwa-peristiwa penting dalam agama. Hal itu terjadi lantaran masih kuatnya faham misoginis sebagai warisan dari masa jahiliyah serta masih kuatnya budaya patriarkhi di masyarakat. Akibatnya nilai Islam yang sudah menggaungkan kesetaraan dan keadilan seringkali terjebak pada penafsiran yang tidak adil akibat dari konstruksi kebudayaan.
Padahal tidak jarang peristiwa penting dalam agama yang disucikan itu terselip kisah keterlibatan perempuan. Salah satunya adalah peristiwa isra’ mi’raj. Kita tahu bahwa peristiwa isra’ mi’raj terjadi pada tahun dimana Nabi sedang dirundung kesedihan yang luar biasa akibat ditinggal dua orang yang sangat penting dalam kehidupannya, yaitu Khadijah binti Khuwalid dan Abu Thalib.
Khadijah RA selain istri Nabi yang sangat dicintai, ia juga seorang saudagar perempuan kaya yang telah mendedikasikan hartanya untuk dakwah Nabi. Bukan saja harta yang ia dedikasikan, tetapi juga jiwa dan raganya ia gunakan untuk mengawal dakwah Nabi hingga akhir hayatnya.
Karenanya, saat kepergiannya, Nabi merasa kehilangan yang luar biasa. Di tengah rasa duka yang merundung Nabi akibat wafatnya Khadijah, tiba-tiba ia harus ditinggalkan oleh Abu Thalib pula. Kita tahu bahwa Abu Thalib juga orang yang penting dalam kehidupan dan dakwah Nabi. Meski dikisahkan ia tak sempat mengikuti ajaran Nabi, tetapi ia menjadi orang yang melindungi Nabi dari ancaman pembesar-pembesar kaum Qurasiy.
Kesedihan Nabi dengan hilangnya dua orang penting itu menyebabkan tahun tersebut dikenal sebagai ‘am al-huzn’ (tahun kesedihan). Setelah tahun kesedihan itulah datang panggilan kepada Nabi untuk melakukan isra’ mi’raj. Panggilan tersebut seperti menjadi pengobat rasa duka dan beratnya perasaan Nabi saat itu.
Tahun ini peristiwa isra’ mi’raj itu datang beriringan dengan hari perempuan sedunia yang diperingati setiap tanggal 8 Maret. Hadirnya momen ini seakan mengingatkan kita bahwa hadirnya perempuan dalam agama adalah fakta sejarah yang tidak boleh kita hilangkan. Kita harus memaknai agama sebagai spirit atas keadilan kepada perempuan dan orang-orang lemah yang terpinggirkan.
Agama harus menjadi garda depan dalam melawan ketidakadilan dan kedzaliman. Karena ajaran tauhid yang dibawa oleh agama telah menegaskan kepada kita bahwa tak ada ketundukan yang sah, kecualii pada Tuhan. Pesan dari ajaran tersebut mengingatkan kepada seluruh manusia, bahwa selain Tuhan, kedudukannya adalah setara. Tak ada yang lebih superior dibanding yang lain.
Sementara itu peringatan hari perempuan sedunia merupakan bentuk pengakuan dunia terhadap hak-hak perempuan. PBB telah menetapkan keputusan tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan kepada perempuan. Keputusan tersebut tertuang pada convensi CEDAW (Convention on Elimination of All Form of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi oleh 189 negara, termasuk Indonesia.
Kesepakatan dunia tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan telah sejalan dengan pesan ketauhidan Islam. Karena itu umat beragama harus semakin berani untuk menolak tindakan-tindakan diskriminatif terhadap perempuan dalam segala bentuknya. Wallahua’lam bisshawab. []