Mubadalah.id – Pernah dengar ungkapan “selain donatur dilarang ngatur!”? Hehe, iya betul, ungkapan ini telah jamak beredar di media sosial yang lama kelamaan terpatri dalam sanubari kita dan bisa saja kita ikut mengamininya.
Ungkapan ini juga kerap kita kaitkan dengan relasi suami istri. Karena, dalam pernikahan, ada satu kontruksi lazim di mana seorang suami berkewajiban memberikan nafkah kepada sang istri. Terlepas dari hal ini, ada satu hal yang perlu kita pertanyakan. Pertanyaannya, apakah ungkapan ini patut kita jadikan prinsip dan teraplikasikan dalam relasi suami istri?
Kalau kita telisik lebih dalam, ungkapan “selain donatur dilarang ngatur” itu sebenarnya lahir dari tradisi bisnis. Bisnis yang bereskalasi, yang perlu pemodal atau investor. Kita tahu bahwa dalam ilmu ekonomi, pihak yang setor modal paling besar memang akan dapat benefit lebih banyak. Dan hal ini jelas sangat lazim terjadi dalam konteks dunia bisnis. Nah, dari sinilah ungkapan tersebut tercipta.
Namun, ketika di luar konteks dunia bisnis, apakah iya kita mau menerapkan prinsip ekonomi juga sebagaimana yang tersirat dalam ungkapan tersebut? Sederhananya, sekalipun kita ini sarjana atau bahkan doktor dalam bidang ilmu ekonomi pun, apakah iya tiap aspek kehidupan kita harus kita hitung dengan kacamata prinsip ekonomi?
Menilik Prinsip Ekonomi
Bila kita kekeh ingin menerapkan prinsip ekonomi dalam tiap aspek kehidupan kita, lantas apabila suatu saat value diri kita turun (karena faktor usia yang telah menua, sedang sakit, atau hal lainnya). Apakah kita juga rela ketika ‘donatur’ itu boleh semena-mena ‘menutup’ kita begitu saja? Sebagaimana logika investor yang menutup bisnis karena minim performa atau bahkan tidak ada perkembangan?
Jawaban ideal dari pertanyaan-pertanyaan di atas dalam hemat penulis adalah tidak. Ya, tidak semua hal perlu dan bisa kita hitung atau kita nilai dengan prinsip ekonomi. Dalam relasi romantis, sekalipun ada transaksi ekonomi, seyogyanya transaksi tersebut tersematkan pada prinsip cinta dan kasih sayang yang setara. Sehingga tidak tepat bila kita lihat dengan kacamata prinsip ekonomi.
Kesepakatan-kesepakatan apapun selain soal uang di dalamnya pun mesti bersandarkan pada prinsip cinta dan kasih sayang. Demikian ini perlu kita implementasikan agar tercipta rumah tangga yang sejahtera dari relasi suami istri yang bahagia.
Andaikata prinsip “selain donatur dilarang ngatur” kita terapkan dalam bahtera rumah tangga, pastilah rumah tangga tersebut cenderung jauh dari kata bahagia. Baik suami maupun istri hanya akan saling menuntut hak masing-masing. Sementara itu bisa saja keduanya lupa terhadap kewajiban masing-masing terhadap pasangan satu sama lain. Di samping itu, prinsip ini juga melahirkan anggapan-anggapan nyeleneh.
Laki-laki Miskin
Pertama, anggapan bahwa laki-laki yang mendengar dan lalu tersinggung terhadap prinsip ini sebagai laki-laki miskin adalah logika yang bengkok. Ya mungkin saja perempuan yang beranggapan demikian ini punya pengalaman hidup yang tidak mengenakkan. Misalnya saja, perempuan yang punya suami pelit tapi sangat posesif dan suka ngatur-ngatur kehidupan istrinya, bisa saja memvalidasi kebenaran prinsip ini.
Namun, dalam hemat penulis, sekalipun demikian ihwalnya, anggapan demikian ini tetap tidak bisa kita benarkan. Karena, mengatakan bahwa laki-laki yang tersinggung dengan prinsip ini pasti dia adalah laki-laki miskin sejatinya merupakan penghinaan yang kita perhalus. Selain itu, hal ini juga bisa menimbulkan intrik-intrik serius dalam hubungan suami istri.
Prinsip ini bila kita telan mentah-mentah akan melahirkan istri-istri modern dengan mental jadul. Yakni: “ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang”. Bila sampai istri bermental demikian, maka laki-laki yang berstatus sebagai suami tak ubahnya hanya akan menjadi ‘mesin penghasil uang’. Dia akan diperas keringatnya demi pundi-pundi rupiah di sakunya. Alih-alih jadi pemimpin keluarga yang kita hormati dan disayangi.
Perempuan Boleh Diatur Sesuka Hati
Kedua, anggapan bahwa perempuan boleh kita atur-atur sesuka hati pemberi donatur (dalam hal ini suami) adalah logika yang tak hanya bengok, tapi juga kejam. Bila sebagai suami, kita punya prinsip demikian, coba sejenak kita merenung. Apakah perempuan yang kita nikahi itu benar-benar kita anggap sebagai istri ataukah sekadar jadi ‘pelayan’ bagi kita?
Kalau memang niatnya ingin mencari pelayan pribadi, kenapa tidak mencari ART saja dan tak perlu repot-repot menikah? Bukankah tanggung jawab pernikahan itu besar dan agung di hadapan-Nya? Apakah kita tidak jadi laki-laki kejam bila di awal mengatakan ingin menjadikan perempuan yang kita nikahi itu sebagai istri/ pasangan hidup. Namun pada kenyataannya perempuan yang secara status KUA menyandang gelar sebagai istri kita itu tak ubahnya hanya jadi pelayan pribadi?
Bila sampai ini terjadi, kita sebagai laki-laki bukan hanya pembohong, tapi juga pecundang! Sama jahatnya seperti para koruptor dan pejabat biadab yang gemar menindas rakyat biasa itu!
Lebih lanjut, dalam konteks pernikahan, kita harus memahami bahwa nafkah yang suami berikan kepada istri itu bukan mata uang untuk mengatur istri. Melainkan bentuk tanggung jawab material atas pembagian peran dalam hubungan suami istri.
Pentingnya Relasi Sehat
Suami yang baik semestinya paham bahwa perkara material sebanyak dan semewah apapun yang ia berikan kepada istri, semestinya tidak akan pernah setara dengan kemerdekaan perempuan. Yakni menjadi manusia yang bermartabat dan berkuasa atas pikiran, keputusan, dan tindakannya sendiri.
Jadi, sebagai suami yang baik, jangan karena telah memberikan nafkah lantas tidak mau berurusan dengan kerja perawatan dan pengasuhan rumah tangga dengan dalih, “kan aku udah capek kerja, udah jadi donatur buat kamu!”.
Parahnya lagi, karena sudah merasa jadi ‘donatur’ uang, lalu membuat kita sebagai suami merasa bahwa cara membangun hubungan hanya cuman itu saja. Selesai kerja bergegas pulang ke rumah, kasih uang ke pasangan, minta pelayanan darinya, dan lanjut bobok manis.
Hmm, padahal, selain uang, relasi yang sehat juga perlu terbangun dengan kapasitas untuk saling mendukung dan memulihkan, baik secara intelektual dan emosional, dan juga dengan hal-hal non-materiil penting lainnya.
Maka dari itu, dalam relasi suami istri, seharusnya prinsip “selain donatur, dilarang ngatur” ini jangan kita aplikasikan dalam dunia nyata rumah tangga. Prinsip yang seharusnya kita pakai adalah “mari sama-sama kita atur, karena kita adalah sepasang donatur”.
Nah, dalam prinsip ini, baik suami maupun istri Insya Allah akan memiliki kehidupan rumah tangga yang baik, bahagia, dan sejahtera. Sebab keduanya tidak saling menuntut untuk diberi, tapi justru ingin saling berlomba dalam memberi dalam keadaan apapun. Baik ketika sedang terhimpit maupun lapang, baik ketika merasa susah maupun senang. Wallahu a’lam. []