Rangkaian tubuh yang ada pada manusia terdiri dari jiwa dan raga. Tubuh bukan hanya sekadar tangan, kaki, hidung, mata, payudara, dan lain sebagainya. Ada jiwa yang perlu mendapatkan hak-haknya agar tetap baik dan mampu melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya.
Tubuh manusia adalah privasi. Otoritasnya milik masing-masing individu. Dengan kata lain, tidak patut dan tidak perlu ada campur tangan dari luar terkait dengan apa-apa yang melekat pada tubuhnya. Tubuh memerlukan balutan yang tepat untuk menutupinya. Biasa disebut dengan pakaian. Pakaian adalah kebutuhan pokok.
Tidak hanya untuk menutup aurat yang semua orang eluk-elukkan ketika melihat hal yang dianggap tidak etis tersebut terlihat. Namun, yang lebih penting lagi ialah melindungi tubuh dari cuaca, memberi kehangatan, serta membuat kita menjadi terhormat dihadapan Tuhan, sesama manusia dan makhluk lainnya.
Maka, dalam Al-Qur’an kita biasa mendengar adanya ‘libaasuttaqwa’. Kyai Husein Muhammad menukil dari Imam Abul Hasan Al Mawardi dalam kitab ‘Adab al dunya wa al din’ mencatat adanya 6 tasir dari makna ‘libasuttaqwa’, antara lain : iman, amal shaleh, jalan hidup yang baik, merasa khawatir akan siksa Allah, mempunyai rasa malu, serta untuk menutup aurat.
Menjadi perempuan menjadikan kebutuhan pada baju pun tidak bisa sembarangan. Perempuan dengan berbagai jenis ukuran tubuh mencoba memilih sesuatu berdasarkan kenyamanan, kepantasan, keindahan, dan tentu saja kehormatan. Maka, tak salah jika wanita memang lebih butuh banyak kriteria dan waktu untuk memiliki satu jenis pakaian.
Di tengah gempuran mode terkini (fast fashion) dan perdagangan digital yang semakin menggaung, wanita menjadi sasaran utamanya. Menjadi sasaran empuk fesyen dan menjadi ladang juga untuk meningkatkan perekonomian keluarga.
Dengan semakin berkembangnya zaman, berubahnye mode fesyen, dan menjamurnya perancang busana serta butik, di mana godaan akan pakaian tak lagi dilihat sebagai alasan untuk melindungi tubuh. Namun lebih kepada memenuhi keinginan nafsu, kebanggan yang berujung pada impulsive/unconcious buying. Maka tentu, pada titik tersebut prakteknya tidak lagi sesuai dengan tafsir dari libaasuttaqwa yang sudah dipaparkan di atas.
Memahami perempuan perlu juga memahami apa yang dibutuhkan oleh tubuh perempuan dan pakaian apa yang diperlukan oleh tubuh seorang perempuan. Saya tidak akan membincang tentang model pakaian. Tentu setiap perempuan memiliki preferensi yang berbeda atas pilihannya. Namun pembahasan ini akan mencoba mengerucutkan pada pakaian dan hal-hal dibalik pakaian itu sendiri.
Pilihan pakaian apapun, yang penting bisa membuat nyaman bukan? Namun ternyata nyaman saja tidak cukup. Ada hal lain yang kini patut untuk dipertimbangkan. Pertama, kesehatan tubuh; Kulit kita membutuhkan pelindungan yang mampu memberikan perlindungan terbaik dan tidak membahayakan kulit itu sendiri. Maka hal utama yang perlu dipahami ialah memahami kebutuhan kulit dan kain yang cocok untuk melindunginya. Bahan katun (organik terutama) yang sedikit mengandung sedikit proses kimia tentu yang paling cocok.
Kedua, proses pembuatannya; Masih ingat dengan kasus 1.138 buruh garmen meninggal dalam kasus Rana Plaza runtuh di Dakha, Bangladesh, April 2013. Dunia fesyen diam saja saat ketidakdilan melanda para buruh garmen yang justru kebanyakan adalah perempuan.
Produk-produk luar dianggap lebih keren. Padahal dibaliknya, ada banyak buruh, yang sebagian besar wanita, mendapati perlakuan tidak lazim, upah yang sedikit dan hak-haknya tidak dipenuhi. Maka, memilih produk lokal harusnya menjadi kebanggan tersendiri. Memilih produk lokal juga berarti kita sudah mendukung ekonomi masyarakat lainnya. Kini sudah banyak produk lokal yang kualitas dan mutunya tidak kalah saing dengan produk dari luar.
Ketiga, bedakan kebutuhan dengan keinginan; tubuh hanya meminta kita untuk menjaga dan melindunginya dengan pakaian yang baik dan menyehatkan. Hal itu bukan berarti kita perlu mengumpulkan banyak pakaian. Justru sebaliknya, jika kita semakin menimbun banyak pakaian, sementara pakaian itu susah didaur ulang karena bahannya tidak ramah lingkungan.
Maka, kita menjadi sumber pencemar lingkungan yang sesungguhnya. Relasi kesalingan mengajarkan kita untuk saling memberi manfaat dan kebaikan pada sesama. Bukan untuk menguntungkan sepihak, dan melukai yang lainnya. Tentu hal tersebut berlaku pula pada alam.
Keempat, memaknai kembali kata libaasuttaqwa; jika pakaian utama adalah taqwa, maka pakaian yang kita kenakan sehari-hari hanya baru satu hal untuk mencapai tingkatan taqwa. Kelima, tubuh juga butuh asupan agar tetap sehat; Ingat, tubuh tidak hanya sekadar butuh pelindung raga berupa pakaian, namun juga butuh penenang untuk jiwanya. Memenuhi asupan jiwa tak kalah pentingnya untuk dilakukan.
Libaasuttaqwa mengajarkan kita bagaimana menjadi muslim yang mampu menjalankan hidupnya dengan baik. Mampu menebar kebaikan, tak hanya pada sesamanya namun juga pada lingkungannya. Maka, menjadi bijak dalam berpakaian adalah pilihan tepat. []