Mubadalah.id – Jika kita ngomongin tentang buruh, maka hal ini kerapkali sangat berkait dengan upah murah, waktu (jam dan hari) kerja, Tunjangan Hari Raya (THR), Pengakhiran Hubungan Kerja (PHK), pesangon dan atau Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), dan Uang Pengganti Hak (UPH). Selain itu, yang tak kalah penting dari semua itu adalah soal keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Yang terakhir itu merupakan isu yang saat ini tengah banyak dikampanyekan oleh aktivis buruh, supaya setiap perusahaan melaksanakan K3 demi terciptanya lingkungan kerja yang aman dan sehat. Pasalnya, kasus kecelakaan kerja dan sakit akibat kerja di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Berdasarkan catatan lima tahun terakhir Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, jumlah klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) terus melonjak naik. Pada 2019 tercatat ada 182.835 kasus kecelakaan kerja. Selanjutnya, jumlah kasus konsisten naik, 221.740 pada 2020 dan 234.370 kasus pada 2021. Lalu pada 2022, jumlahnya naik lagi menjadi 297.725 kasus.
Di tahun terakhir, sepanjang Januari sampai November 2023, jumlah kasus kecelakaan kerja melonjak semakin drastis, yaitu 360.635 kasus.
Ratusan ribu kasus kecelakaan kerja yang tercatat di BPJS Ketenagakerjaan tersebut bukan jumlah sebenarnya. Karena kasus kecelakaan kerja ini bagaikan fenomena gunung es, di mana kasus yang tercatat itu hanya yang terlapor saja, bukan jumlah kasus kecelakaan kerja sebenarnya.
Mengapa demikian? Menurut Ajat Sudrajat, Manajer Kampanye & Pendidikan Local Initiative for OSH Network (LION) Indonesia, banyak korban kecelakaan kerja yang dibungkam demi menjaga citra perusahaan.
Karena ketika korban melaporkan kasus kecelakaan tersebut, resiko yang akan ditanggung perusahaan sangat berat seperti mendapat penalti dari Disnaker, nilai saham akan turun, investor akan kabur, dan lain sebagainya.
Demi menghindari resiko tersebut, kebanyakan perusahaan membungkam korban dan memilih membiayai perobatannya dan uang kompensasi selama ia tidak bisa bekerja.
Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja
Dalam banyak kasus, kecelakaan kerja yang terjadi dalam suatu perusahaan bukan semata karena faktor kelalaian atau keteledoran pekerja. Melainkan kurangnya perhatian dan pengabaian perusahaan yang terstruktur dan sistematis akan pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
Pengabaian terhadap aspek-aspek K3 ini bisa berupa berbagai hal, mulai dari minimnya investasi dalam program K3, kurangnya pelatihan bagi pekerja, hingga ketidakpatuhan terhadap regulasi yang berlaku.
Padahal, perusahaan memiliki tanggung jawab besar untuk menyediakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi para pekerjanya. Ini meliputi memberikan pelatihan yang memadai, menyediakan peralatan dan fasilitas yang aman. Serta menerapkan prosedur-prosedur yang meminimalkan risiko kecelakaan dan cedera.
Tanggung jawab ini dibebankan kepada perusahaan melalui Undang-Undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Dengan diundangkannya undang-undang ini tujuan besarnya adalah melindungi kesehatan dan keselamatan para pekerja. Hal ni merupakan hak pekerja yang wajib ditunaikan oleh setiap perusahaan.
Akan tetapi, dalam pelaksanaanya banyak oknum perusahaan yang menutup mata terhadap relgulasi itu. Karena untuk menyediakan lingkungan kerja yang aman dan sehat itu membutuhkan biaya, mereka mengabaikan itu dan tidak peduli akan kesehatan, keselamatan. Bahkan nyawa para pekerja. Karena bagi mereka keuntungan yang besar lebih penting dari pada kesehatan dan keselamatan kerja.
Dengan demikian, melihat banyaknya oknum perusahaan yang abai akan UU Keselamatan Kerja, yang terjadi adalah angka kecelakaan kerja dari tahun ke tahun tetap istiqamah naik.
Hal inilah yang kemudian mendorong para aktivis buruh untuk terus mengkampanyekan K3 supaya hal ini menjadi budaya di setiap lingkungan kerja di Indonesia.
Dengan membudayakan K3 di tempat kerja, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan kerja. Hingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas pekerja. []