Mubadalah.id – Setelah beberapa tahun berlalu, akhirnya saya kembali lagi menonton film Mulan tetapi kali ini yang saya tonton adalah film Mulan versi live action. Dalam film tersebut, saya menemukan jejak narasi srikandi Aceh. Saat masih kecil dulu, sebenarnya saya tidak begitu tertarik dengan tokoh Mulan versi animasi. Kenapa?
Karena menurut saya tokoh Mulan berbeda dengan para princess Disney yang selalu digambarkan cantik dengan gaun yang indah, ditambah lagi dengan animasi Mulan yang menurut saya kurang colorful dibanding dengan animasi lainnya rekaan Disney. Namun, perlahan saat tumbuh remaja, saya mulai menyadari bahwa ada sisi lain yang anti-mainstream dari tokoh Mulan, ada sosok srikandi Aceh, sehingga membuat saya jatuh hati dan kagum pada tokoh yang satu ini.
Mulan seolah mampu meruntuhkan persepsi masyarakat yang selalu menganggap perempuan sebagai makhluk lemah sehingga perempuan kerap dijadikan sebagai makhluk nomor dua, pelengkap bahkan perhiasan semata. Bagi saya pribadi, yang patut dikagumi dari tokoh ini karena keberaniannya dalam mengambil keputusan hidup yang sangat penting yakni saat ia memutuskan menjadi petarung untuk menggantikan ayahnya yang sudah lanjut usia.
Keputusan ini sangat tidak mudah bagi Mulan apalagi ia hidup di tengah masyarakat yang sangat getol menganut patriarki. Kisah Mulan mengingatkan saya pada kisah para srikandi Aceh, yakni pejuang perempuan asal Aceh yang dikenal karena keberanian mereka di medan perang.
Hal inilah yang kemudian mendorong saya untuk membongkar lagi buku-buku sejarah berisikan kisah-kisah hidup mereka. Ekspektasi saya adalah dapat menemukan kisah-kisah hebat srikandi Aceh dalam pertarungan melawan penjajah layaknya kisah Mulan saat melawan musuhnya.
Namun, ternyata ekspektasi saya terlalu tinggi. Buku-buku sejarah mainstream negeri ini lebih tertarik menarasikan persoalan ranah privat para srikandi Aceh sebagai perempuan tetapi cenderung bungkam saat membahas secara detail mengenai keberanian para perempuan ini di medan perang.
Cut Nyak Dien, misalnya. Perempuan yang mendapat julukan sebagai Srikandi Aceh oleh Presiden Soekarno ini kerap menjadi ikon keberanian perempuan Indonesia. sayangnya, penggambaran perjuangannya selalu disandingkan dengan nama besar laki-laki yang berada disekelilingnya seperti suami, ayah, kakek, bahkan kakek moyangnya.
Bahkan di beberapa buku sejarah yang mainstream, Narasi kepahlawanannya seolah berada ‘dibalik’ kepahlawanan Teuku Umar, yang dianggap sangat berjasa dalam mengusir penjajahan. Jarang sekali atau bahkan belum ada buku sejarah yang menarasikan dan memposisikan Cut Nyak Dien sang Srikandi Aceh sebagai aktor utama di medan perang.
Hal yang sama juga berlaku pada Cut Meutia, yang juga merupakan pahlawan perempuan asal Aceh. Proporsi penceritaan ranah privat Cut Meutia lebih besar dibanding penceritaannya sebagai pejuang perempuan yang berani di medan perang.
Ranah privat yang banyak diceritakan ini, misalnya kisah kegagalan perkawinannya dengan suami pertama sehingga ia menikah lagi dengan suami kedua dan sama-sama berjuang melawan penjajah. Sama seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia bukanlah aktor utama dalam perjuangannya di medan perang.
Selain dua tokoh pahlawan perempuan Aceh di atas, terdapat satu nama lagi yang baru-baru ini diangkat menjadi pahlawan nasional. Ia adalah Laksamana Keumalahayati. Keumalahayati dikenal karena kepemimpinannya dalam sebuah armada yang dikenal dengan sebutan armada Inong Balee.
Armada Inong Balee merupakan kumpulan dari para janda yang suaminya meninggal di Medan perang saat melawan penjajah. Kehebatan Laksmana Keumalahayati dalam memimpin perjuangan tetap tidak terlepas dari nama besar ayahnya yang merupakan bangsawan hebat pada saat itu.
Dalam beberapa buku sejarah yang saya telusuri. Narasi mengenai Laksmana Keumalahayati selalu di awali dengan pengenalannya sebagai anak dari Laksamana Mahmud Syah, yang merupakan bangsawan tinggi keturunan Sultan Salahuddin Syah.
Melihat banyaknya kesamaan narasi antara tiga tokoh pejuang Aceh yang telah diangkat menjadi pahlawan nasional di atas, pertanyaan-pertanyaan lain kemudian menghantui benak saya. Mengapa mereka yang berasal dari kalangan bangsawan ‘terakui’ sebagai pahlawan perempuan dalam buku-buku sejarah? Mengapa pula narasi kepahlawanan perempuan selalu identik dengan status mereka sebagai janda? Mengapa narasi kepahlawanan mereka tidak dibangun saat status mereka masih gadis?
Jika memang demikian, jangan-jangan masih banyak perempuan srikandi Aceh yang seperkasa, semandiri dan seberani Mulan yang mampu melaksanakan perjuangan fisik di medan perang tetapi tidak tercatat dalam buku-buku sejarah mainstream. Mungkin saja mereka ada tetapi lantas hilang karena tidak memenuhi kriteria tertentu yang menjadikan nama mereka tercatat di dalam sejarah. []