Mubadalah.id – Di sebuah pagi yang cerah, Pak Rudi bersiap untuk menebang pohon mangga yang ada di depan rumahnya. Padahal pohon mangga tersebut sudah berbuah dan berdaun agak lebat.
Pohon yang sudah berumur sekitar 6 tahun tersebut, akan dilenyapkan oleh Pak Rudi dengan sebilah golok yang ia beli di pasar beberapa hari sebelumnya. Ketika akan memulai memenggal-menggal pohon, seorang tetangga yang berprofesi sebagai Pak RT tiba-tiba menghampiri sambil melemparkan pertanyaan kepada Pak Rudi.
“Lho, kenapa pohonnya mau ditebang pak? Apa salah pohon itu?”
“Iya Pak RT. Jadi, minggu depan kan anak saya mau nikah, pohon ini saya tebang biar tidak mengganggu pemandangan, karena nantinya resepsi pernikahan digelar di halaman rumah ini,”ucap Pak Rudi.
Halaman depan rumah Pak Rudi luasnya sekitar 6×4 meter. Pohon mangga berukuran sedang yang telah berbuah dan beberapa tanaman hiasnya memang menjadi pemandangan sehari-hari warga lokal ketika melintas di depan rumah Pak Rudi. Tapi sayang, pohon tersebut akhirnya ia tebang dan buahnya ia jual. Alasan penebangan pohon tersebut sangat sepele; anak pertama Pak Rudi (sebut saja namanya Dewi) akan menikah dengan pria idamannya.
***
Kisah yang saya sampaikan diatas hanyalah fiktif. Tapi perilaku seperti Pak Rudi kerap kali kita jumpai di lingkungan sekitar kita bukan?
Beberapa tahun lalu, orang-orang di desa saya ketika akan menggelar pesta pernikahan, selain bergotong royong mempercantik rumah, juga menebang pohon. Tidak peduli pohon itu kecil, sedang atau besar. Jika pohonnya besar dan daunnya rimbun, maka yang mereka tebang biasanya hanya ranting-ranting bagian atas, sehingga cuma menyisakan batang pohon yang sudah gundul tanpa dedaunan.
Pohon yang tadinya bisa membuat rumah terasa sejuk dan teduh secara alami, kini harus kita korbankan demi hajatan pernikahan yang hanya berlangsung satu hingga tiga hari.
Menebang pohon yang ada di depan atau samping rumah maksudnya untuk memberikan ruang bagi pendirian tratak, atau kita sebut saja sebagai “tenda pernikahan”. Tanpa adanya pohon, maka halaman depan rumah menjadi lebih luas. Lebih longgar, sehingga pemasangan dekorasi pernikahan menjadi lebih leluasa, karena tidak ada aral melintang yang mengganggu.
Menebas Pohon Bukan Solusi
Kasus semacam itu saya yakin juga terjadi di belahan dunia mana pun. Di tempat Anda juga pastinya kan? Yang jadi pertanyaan, kenapa harus pohon yang kita tebas demi sebuah hajatan? Kenapa orang-orang lebih peduli kepentingan sesaat daripada kemaslahatan bersama selamanya? Menebang pohon untuk hajatan adalah kepentingan sekejap, sedangkan membiarkan pohon tetap hidup adalah kepentingan selama-lamanya, sampai anak cucu kelak yang menikmatinya.
Lantas, apakah pernikahan yang demikian bisa kita sebut sebagai pernikahan yang maslahat, ketika pohon kita tebang, dan daun-daun kita gugurkan. Jika alasan menebang pohon supaya halaman rumah menjadi lebih luas, kenapa tidak menyewa gedung saja khusus untuk resepsinya? Saya yakin ada banyak opsi gedung-gedung murah yang bisa disewa untuk hajat pernikahan atau hajatan lainnya.
Sebuah hajatan perlu mengedepankan keberlanjutan alam sekitar. Sayangnya, selama ini kita seringkali menganggap perbuatan menebas pohon sebagai perilaku yang “wajar-wajar saja”. Kita lebih melihat esensi sebuah pernikahan dari “yang penting tidak merugikan orang lain’.
Ketika ada budaya memangkas pohon depan rumah (walau tidak semua orang sih) sebelum pernikahan kita tak memperdulikan itu. Padahal, secara teori, menghancurkan pohon itu bisa berakibat fatal pada kelestarian lingkungan hidup.
Hajatan yang Berbasis Ekologis
Hajatan atau orang Jawa kekinian akan menyebutnya sebagai “ndue gawe” dapat berupa wujud walimatul khitan (sunatan) dan walimatul ursy (pernikahan). Tanpa rapat kelurahan, kita sepakat bahwa menikah adalah ibadah. Oleh sebab pernikahan atau sunatan merupakan ibadah, maka segala yang menyangkut proses hajatan tersebut juga harus baik.
Dalam sebuah hajatan, baik pra, hari H, dan setelahnya, harus berorientasi pada kebaikan-kebaikan. Selain baik untuk diri sendiri, baik pula bagi lingkungan sekitarnya, termasuk untuk keberlanjutan kehidupan mendatang atau bisa kita sebut dengan proses pernikahan yang maslahat. Pendek kata, sebuah hajatan harus menjunjung tinggi kepentingan ekologis.
Terkait hal tersebut, saya punya contoh konkrit. Ini berdasarkan kisah nyata. Jadi, di salah satu desa di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Desa Wuled namanya, ada tradisi unik ketika sepasang calon suami istri akan melangsungkan pertalian asmara.
Pemerintah Desa Wuled mewajibkan pasangan tersebut untuk memberikan sebuah tanaman. Setor tanaman. Bibit-bibit tanaman tersebut lalu akan ditanam di area di seluruh wilayah Desa Wuled. Dengan menanam, Kepala Desa Wuled berpandangan, maka sebenarnya setiap orang turut serta menyelamatkan lingkungan dan menjaga kelestarian alam.
Wah. Sangat luar biasa pemikiran bapak kepala desanya. Saya jadi kagum. Program dari desa tersebut saya kira perlu ditiru oleh desa-desa lain di seluruh Indonesia. Pemerintah desa perlu ikut andil dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup dari bahaya yang mengancam. Salah satunya, dengan membuat dan menegakkan peraturan larangan menebang pohon. Dengan tidak menebang pohon secara sembarangan, kita sudah turut berkontribusi pada keberlanjutan alam.
Keberlanjutan Kehidupan
Hal tersebut selaras dengan urgensi pernikahan, yaitu keberlanjutan keturunan. Dalam al-maqasid al-syariah, nikah termasuk hifdz al-nafs, yaitu menjaga jiwa dalam bentuk keturunan. Melahirkan generasi baru merupakan keharusan atau bahkan kewajiban demi berlangsungnya kehidupan umat manusia.
Akan tetapi, niat untuk mencetuskan generasi baru juga harus kita imbangi dengan upaya perlindungan terhadap alam atau lingkungan hidup. Supaya, ketika seorang anak kelak lahir, anak tersebut masih bisa menikmati rindangnya pepohonan di depan rumah, masih bisa menyaksikan daun-daun hijau dan bunganya bermekaran, masih dapat menghirup oksigen secara alami, dan sebagainya.
Nah, selain tidak menebang pohon, praktik baik lainnya yang bisa kita terapkan, khususnya pasca melangsungkan hajatan adalah dengan memilah-milah sampah. Saya yakin, akan ada banyak sampah pasca hajatan, entah pernikahan atau sunatan, seperti sampah plastik, botol/kaleng minuman, sampah dekorasi, cendera mata, sisa undangan, hingga sampah sisa makanan.
Pihak keluarga atau sang sohibul bait, jika tak keberatan, saya sarankan untuk memilah sampah untuk didaur ulang. Sampah plastik misalnya, bisa didaur ulang jadi kerajinan tangan, lalu sampah sisa makanan bisa disulap menjadi pupuk kompos untuk tanaman di kebun. Itu jika Anda punya kebun. Kalau tidak, mari kita bikin kebun dulu. []