Mubadalah.id – Tren digital meningkat begitu signifikan. Informasi terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai angka 185,3 juta jiwa. Setara dengan 66,5 % total penduduk Indonesia. Artinya, aktivitas masyarakat mengalami transformasi hingga menyentuh ruang-ruang digital (aktivitas digital).
Aktivitas digital merupakan segala kegiatan yang menggunakan perangkat digital dan internet seperti smartphone, komputer, laptop, dan tablet. Kegiatan tersebut meliputi komunikasi, akses informasi, partisipasi kegiatan online, belanja, pendidikan, hingga hiburan.
Mengingat begitu besarnya partisipasi masyarakat dalam ruang digital, maka harus beriringan dengan nilai-nilai yang kita yakini dalam realitas sosial.
Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Salah satu tokoh kunci KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) mengenalkan pendekatan makruf dalam menyelesaikan problem sosio teologis umat Islam dan relasi sosial manusia. Secara lebih luas, konsep makruf ini masih dan nyaris selalu bisa kita gunakan dalam berbagai konteks relasi sosial, termasuk dalam ruang digital.
Nyai Hj. Badriyah Fayumi mendefinisikan makruf sebagai “Segala sesuatu yang mengandung nilai kebaikan, kebenaran, dan kepantasan yang sesuai dengan syariat, akal sehat dan pandangan umum suatu masyarakat”.
Al Quran menyebut kata makruf sebanyak 34 kali, salah satunya di Qs. Ali Imran ayat 104.
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Artinya; “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Allah menyeru kita untuk berbuat makruf yaitu akhlak, perilaku, nilai-nilai luhur, dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Allah juga menyeru agar kita menjauhi perkara mungkar yaitu segala sesuatu yang mana akal sehat mengingkarinya dan memandangnya sebagai keburukan.
Berikut tiga pilar “makruf” yang bisa kita gunakan sebagai pondasi dalam aktivitas digital.
Kebaikan yang berdasarkan syariat
Konsep makruf senantiasa berakar pada ajaran agama Islam, khususnya yang tertulis dalam Al Quran dan Sunnah. Aktivitas digital harus berlandaskan nilai-nilai Islam seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan manfaat bagi masyarakat secara lebih luas.
Pertama, aspek kejujuran. Salah satu manfaat dari teknologi digital adalah kemudahan dalam bertukar informasi. Dengan konsep makruf, kita perlu mempertimbangkan kebenaran suatu informasi dan tidak menebar kebohongan apalagi fitnah.
Kedua, aspek keadilan. Pengguna teknologi digital menembus berbagai lapisan masyarakat seperti jenis kelamin, rentan usia, profesi, hingga strata sosial. Oleh karenanya, nilai keadilan harus menjadi basis dalam dunia digital. Tidak lagi berlaku diskriminatif dan eksploitasi. Semua orang berhak mendapatkan kenyamanan dan keamananan dalam interaksi digital karena ruang digital adalah ruang publik.
Ketiga, aspek tanggung jawab. Setiap orang bertanggung jawab penuh atas perilakunya di ruang digital. Dalam realitas sosial, ucapan yang keluar dari mulut tidak ada bekas fisiknya. Sebaliknya, dalam aktivitas digital semuanya akan terekam dengan jelas.
Berpikir sebelum bertindak, jangan sampai perilaku kita merugikan diri sendiri bahkan orang lain. Dalam Islam sangat jelas ada anjuran untuk menjaga jiwa (Hifz al-nafs) bahwa setiap dari kita harus saling menjaga keselamatan jiwa dan hak hidup manusia dengan baik.
Aspek kebermanfaatan. Islam menjelaskan bahwa salah satu sifat orang beriman adalah menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia dan tidak berguna (Al-Mu’minun ayat 3). Digitalisasi sangat membantu pekerjaan manusia jika digunakan dengan bijaksana.
Konsep makruf mengingatkan kita bahwa kemudahan digital harus ditasarufkan (gunakan) untuk kemaslahatan bersama. Bukan malah mencari keuntungan sendiri hingga mengabaikan orang lain. Sungguh itu termasuk perbuatan yang sia-sia.
Kebaikan yang sesuai dengan akal sehat
Dalam dunia digital, penerapan syariat dapat berarti memastikan bahwa konten dan aktivitas online sesuai dengan nilai-nilai Islam, seperti menghindari hal-hal yang haram, zalim, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.
Konsep makruf juga harus diterima dan masuk akal semua orang, bukan hanya berdasarkan dogma agama semata. Pada dasarnya kebaikan bersifat netral (umum). Pemahaman terhadap nash-nash Islam secara tekstual tanpa beriringan dengan kontekstual akan mengaburkan kebaikan yang bersifat umum tersebut.
Setelah melewati pertimbangan nilai-nilai syariat, suatu perilaku sosial harus dikaji dengan akal yang sehat. Karena tidak semua kebenaran mengandung nilai kebaikan jika berada di situasi dan kondisi yang tidak tepat.
Dalam konteks hukum fiqih, berakal sehat sering menjadi syarat sahnya suatu ibadah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan seseorang untuk membedakan antara yang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas menjadi indikator penting dalam beribadah. Bukankah interaksi sosial juga termasuk ibadah?
Jangan sampai aktivitas digital kita penuh dengan perselisihan atas benar dan salah, lebih baik fokus pada aspek baik atau tidaknya suatu perkara. Sekali lagi, kebaikan itu bersifat universal dan diterima oleh akal sehat.
Kebaikan yang sesuai dengan kepatutan sosial
Dengan demikian, akal sehat dalam dunia digital mencakup kemampuan untuk berpikir kritis, menggunakan teknologi secara bijak, serta menghindari penggunaan teknologi yang merugikan diri sendiri atau orang lain
Kepatutan sosial dalam dunia digital berarti mempertimbangkan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, menjaga etika komunikasi, serta menghindari perilaku yang merusak keharmonisan sosial.
Sekali lagi, aktivitas digital yang kita lakukan harus berdasar pada nilai-nilai makruf yaitu baik menurut syariat, akal sehat, dan kepatutan sosial. []