Mubadalah.id – Tidak sedikit informasi ketika kita berbicara tentang peran perempuan terhadap peradaban bangsa Indonesia. Banyak tokoh perempuan yang bisa kita teladani perjuangan yang begitu luar biasa, out of the box melawan kondisi sosial, budaya patriarkhi serta melawan berbagai kebiasaan yang menjadi kiblat masyarakat masa lampau. Tentunya perjuangan tersebut perlu diapresiasi begitu besar oleh perempuan masa kini yang bisa bebas menikmati berbagai peran, yang bisa dikatakan di masa lampau sangat sulit untuk dijangkau. Di antara tokoh perempuan yang berjuang dalam pendidikan, Siti Walidah menjadi salah satu tokoh perempuan muslimah yang memiliki dedikasi luar biasa pemikirannya tentang pendidikan perempuan.
Siti Walidah merupakan perempuan masa lampau yang menjadi istri dari tokoh ulama, pahlawan nasional pendiri Muhammadiyah, yakni Ahmad Dahlan, sehingga dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan.
Nyai Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 3 Januari 1872, meninggal 31 Mei 1946. Dalam usia 74 tahun, hidupnya di dedikasikan untuk kepentingan sosial, khususnya masalah perempuan. Sepak terjangnya tercatat ketika pada tahun 1914 mendirikan organisasi “ sopo tresno” untuk memberikan pengajaran serta pemahaman al-Quran serta menjadi sebuah gerakan perempuan dibawah bimbingan dan arahan Ahmad Dahlan.
Pemikiran Siti Walidah atau lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan dalam soal pendidikan dikenal dengan konsep “catur pusat” yakni, suatu formula pendidikan yang menyatukan empat komponen: pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan di dalam lingkungan sekolah, pendidikan di dalam lingkungan masyarakat dan pendidikan di dalam lingkungan tempat ibadah.
Melalui konsep ini, kita melihat pemikiran yang luar biasa dari Nyai Ahmad Dahlan dalam mengkolaborasikan lingkungan seseorang bisa menjadi penunjang terhadap pengetahuan dan pengembangan dirinya. Catur pusat itu merupakan satu kesatuan organik, yang apabila dilakukan secara konsisten akan membentuk kepribadian yang utuh.
Gagasan itu akhirnya dapat diwujudkan dalam bentuk sekolah. Mula-mula beliau mendirikan Madrasah Ibtidhaiyah Diniyah Islamiyah pada tahun 1912 dengan menggunakan sistem pembelajaran model Belanda.
Pada awalnya terobosan ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat kampung kauman dan di kalangan kaum Muslim. Kelompok yang pro terhadap terobosan ini beragumen bahwa model pendidikan seperti itulah yang akan diterima oleh masyarakat, karena, ia pada hakikatnya melakukan modernisasi model pendidikan Islam dari sistem pondok pesantren dengan pendekatan tradisional menjadi modern, dengan tetap mempertahankan ciri khas pelajaran dan pendidikan Islamnya.
Hal-hal yang positif dari Barat tidak harus ditolak tetapi diakomodir dengan diberi sentuhan nilai-nilai Islam. Siti Walidah juga memprakarsai pendirian pondok asrama bagi siswa perempuan untuk menyempurnakan formula pendidikannya. Asrama ini didirikan dirumahnya pada tahun 1918 dan berkembang cukup pesat dengan menampung banyak murid dari Kampung Kauman maupun luar kota.
Di asrama ini, Nyai Ahmad Dahlan memberikan pendidikan keagamaan, dan keterampilan termasuk keterampilan berpidato dan pendidikan keputrian. Basis moral Nyai Ahmad Dahlan tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan beliau yang selalu diulang-ulangnya yaitu: (1) Menolak peribahasa Jawa “wong wadon iku swarga nunut, nerakane katut wong lanang” ( perempuan itu masuk surganya ikut suami, masuk neraka juga terikut suami). (2) Amar ma’ruf nahi munkar. (3) Sepi ing pamrih (bekerja tanpa pamrih).
Perjuangannya menjadi salah satu terobosan penting dalam perjuangan mendirikan organisasi Aisyah yang sudah berdiri bertahun-tahun hingga saat ini, hingga menjadi organisasi perempuan yang besar serta ikut memperjuangan hak-hak perempuan agar terus aktif berkontribusi terhadap kemajuan bangsa. Sebab, bukanlah sebuah negara demokrasi apabila tidak melibatkan peran perempuan di dalamnya. []