Mubadalah.id – Di persimpangan jalan yang ramai, di lorong pasar yang padat, atau di balik jendela kantor, kita sering melihat pemandangan yang sama. Seorang perempuan yang berjuang menyeimbangkan berbagai perannya. Entah itu seorang ibu yang membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus anak. Seorang nenek yang hidup sehemat mungkin di masa tuanya, atau seorang karyawati muda yang gajinya pas-pasan.
Pemandangan ini begitu lumrah hingga kita jarang bertanya: Mengapa potret kesulitan ekonomi lebih sering berwajah perempuan? Mengapa perempuan lebih miskin daripada laki-laki?
Pertanyaan inilah yang coba terjawab oleh Annabelle Williams dalam bukunya, ‘Why Women Are Poorer Than Men and What We Can Do About It’. Buku ini bukan sekadar kumpulan statistik, melainkan juga narasi yang membongkar lapisan demi lapisan sistem yang menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan secara finansial.
Akar masalah ini, menurut Williams, tertanam dalam sejarah. Jauh sebelum kita mengenal konsep kesenjangan gaji atau dana pensiun, dahulu perempuan tidak pernah dianggap sebagai subjek ekonomi yang utuh.
Selama berabad-abad, di banyak sistem hukum di Barat, perempuan dianggap sebagai properti—pertama milik ayahnya, kemudian diserahkan kepada suaminya. Mereka tidak punya hak atas kepemilikan tanah, membuka rekening bank atas nama sendiri, atau bahkan mewarisi kekayaan keluarga.
Sejarah Perempuan
Konsep hukum seperti “coverture” meleburkan identitas hukum seorang istri ke dalam identitas suaminya. Semua pendapatan, aset, dan warisan yang perempuan terima secara otomatis akan menjadi milik suaminya.
Sejarah ini bukanlah sekadar catatan masa lalu. Ini adalah fondasi yang membentuk cara masyarakat memandang nilai ekonomi perempuan sampai hari ini. Meskipun hukum sudah berubah, sisa-sisa pandangan ini—bahwa perempuan secara finansial bergantung pada laki-laki—tanpa kita sadari masih membayangi struktur sosial dan ekonomi kita.
Namun, untuk membantah hal tersebut, argumen “pilihan” pun muncul. Bukankah sekarang perempuan bebas memilih untuk bekerja, meniti karier, atau menjadi ibu rumah tangga? Williams mengkritik pertanyaan ini dengan menyebutnya sebagai “feminisme pilihan” dan “feminisme neoliberal”.
Ide-ide populer seperti “lean in”—yang mendorong perempuan untuk lebih asertif dan berani meminta kenaikan gaji—memang terdengar memberdayakan. Namun, Williams menunjukkan bahwa narasi ini secara halus memindahkan beban dan tanggung jawab sistem yang timpang ke pundak individu perempuan. Seolah-olah kemiskinan perempuan terjadi karena pilihan mereka sendiri. Karena mereka “kurang berusaha” atau “salah memilih”.
Padahal kenyataannya, pilihan perempuan sangat terbatas. Ketika biaya penitipan anak lebih mahal dari gajinya, apakah keputusannya untuk berhenti bekerja benar-benar sebuah pilihan yang bebas?
Ketika perempuan lebih sering tertolak saat meminta kenaikan gaji dibandingkan laki-laki, apakah masalahnya hanya terletak pada cara ia bernegosiasi? Williams berpendapat bahwa pilihan-pilihan ini dibuat dalam sebuah arena permainan yang aturannya terancang untuk merugikan perempuan.
Pekerjaan yang Tak Berbayar
Salah satu aturan tak tertulis yang paling fundamental adalah pengabaian total terhadap “pekerjaan yang tak berbayar” seperti pengasuhan dan kerja-kerja domestik.
Williams mengingatkan kita pada Adam Smith, bapak ekonomi modern, yang merumuskan teori-teori besarnya tentang kepentingan pribadi sebagai motor penggerak ekonomi. Ironisnya, selama Smith menulis, ibunya lah yang memasak makan malamnya, membersihkan rumahnya, dan mengurus segala kebutuhannya tanpa bayaran sepeser pun.
Pekerjaan inilah—pekerjaan cinta, pengasuhan, dan perawatan—yang sama sekali tidak masuk dalam radar “ekonomi malestream” yang didominasi laki-laki. Ekonomi modern terbangun di atas faham homo economicus, yang percaya bahwa manusia yang rasional selalu mengejar keuntungan materi.
Konsep ini gagal memahami bahwa ada roda ekonomi raksasa yang berjalan di dalam rumah tangga, yang membuat ekonomi formal di luar sana berfungsi. Ekonomi tak berbayar ini, yang sebagian besar perempuan yang melakukannya, adalah subsidi gratis bagi kapitalisme. Ia adalah mesin tersembunyi yang nilainya tak pernah terhitung dalam PDB, namun tanpanya, seluruh sistem ekonomi akan runtuh.
Dampaknya tidak berhenti di situ saja; ia merembet dan membesar seiring perjalanan hidup seorang perempuan. Kesenjangan upah—di mana perempuan rata-rata terbayar lebih rendah dari laki-laki bahkan untuk pekerjaan yang sama—hanyalah permulaan.
Efek ini kemudian terakumulasi menjadi jurang yang jauh lebih curam: Kesenjangan dana pensiun. Karena pendapatan yang lebih rendah, karier yang sering terputus karena mengurus anak atau orang tua, dan kecenderungan bekerja paruh waktu, tabungan pensiun perempuan jadi jauh lebih kecil.
Fenomena Motherhood Penalty
Di sini Williams menyoroti sebuah paradoks yang menarik: Perempuan hidup lebih lama daripada laki-laki, namun mereka menua dengan bekal finansial yang jauh lebih sedikit. Sistem pensiun, yang terancang berdasarkan pola karier laki-laki yang linear dan tanpa jeda, merugikan perempuan.
Fenomena “motherhood penalty”, di mana pendapatan perempuan menurun setelah memiliki anak, berbanding terbalik dengan “fatherhood bonus”, di mana laki-laki justru sering mendapat kenaikan gaji setelah berkeluarga karena dianggap lebih bertanggung jawab.
Gema argumen Williams dalam buku ini terasa begitu dekat di Indonesia. Data BPS menunjukkan rata-rata upah perempuan hanya sekitar 78% dari upah laki-laki. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan juga jauh lebih rendah. Kementerian PPPA mencatat bahwa angka kemiskinan perempuan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki.
Terlebih lagi, data menunjukkan bahwa 17% rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan, dan mayoritas dari mereka hidup dengan pendapatan di bawah standar.
Mereka adalah para janda, korban perceraian, atau perempuan yang ditinggal pergi oleh suaminya, yang harus menanggung beban ekonomi sendirian dalam sistem yang tidak terancang untuk mereka. Ini membuktikan bahwa apa yang Williams gambarkan bukanlah masalah negara Barat semata, melainkan juga masalah global yang berakar kuat di masyarakat kita.
Kemerdekaan Finansial
Jika anda meminta saya untuk meringkasnya, buku ‘Why Women Are Poorer Than Men’ ini adalah sebuah ajakan agar kita mau mengubah cara kita memandang uang, ekonomi, dan kesetaraan. Williams menyatakan bahwa uang adalah masalah perempuan yang paling fundamental. Tanpa kemerdekaan finansial, hak-hak lain akan rapuh.
Solusi atas masalah finansial ini tidak cukup hanya dengan mendorong perempuan untuk lebih berani atau lebih pintar mengelola keuangan. Ya, itu penting, tetapi itu hanyalah pertolongan pertama pada luka yang penyebabnya karena penyakit sistemik.
Perubahan sejati, menurut Williams, harus kita mulai dengan menuliskan ulang aturan mainnya: Mulai dari bagaimana kita menilai perempuan, merancang sistem pensiun dan jaminan sosial yang adil, menghapus bias di dalam kebijakan anggaran negara, hingga menghancurkan norma budaya yang merendahkan nilai ekonomi perempuan.
Perjuangan ini, bagi Williams, bukanlah untuk membuat perempuan lebih kaya dari laki-laki, tetapi untuk membangun sebuah dunia di mana kondisi finansial seseorang tidak lagi ditentukan oleh gendernya. []